LAPORAN PENDAHULUAN KETUBAN PECAH DINI

A.     Konsep Ketuban Pecah Dini
1.      Pengertian Ketuban Pecah Dini
Ketuban pecah dini (KPD) adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum persalinan. Bila ketuban pecah dini sebelum usia kehamilan 37 minggu disebut ketuban pecah dini pada kehamilan premature. Dalam keadaan normal 8 – 10 % wanita hamil aterm akan mengalami ketuban pecah dini (Prawirohardjo, 2010)
Ketuban pecah dini adalah pecahnya selaput ketuban sebelum adanya tanda-tanda persalinan. Sebagian besar ketuban pecah dini terjadi diatas 37 minggu kehamilan, sedangkan dibawah 36 minggu tidak terlalu banyak (Manuaba, 2010).
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum inpartu, yaitu bila pembukaan pada primipara < 3 cm dan pada multipara <5 cm. Hal ini dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh sebelum waktunya melahirkan. KPD preterm adalah KPD sebelum usia kehamilan 37 minggu. KPD yang memanjang adalah KPD yang terjadi lebih dari 12 jam sebelum waktunya melahirkan (Mochtar, 2007).
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa ketuban pecah dini adalahpecahnya ketuban sebelum waktunya melahirkan atau sebelum inpartu pada pembukaan < 4 cm (fase laten) yang terjadi setelah kehamilan berusia 22 minggu

2.      Etiologi Ketuban Pecah Dini
Ketuban pecah dini disebabkan oleh kurangnya kekuatan membrane atau meningkatnya tekanan intra uterin atau oleh kedua faktor tersebut. Berkurangnya kekuatan membrane disebabkan oleh adanya infeksi yang dapat berasal dari vagina dan serviks. Penyebabnya juga disebabkan karena inkompetensi servik. Polihidramnion / hidramnion, mal presentasi janin (seperti letak lintang) dan juga infeksi vagina / serviks (Prawirohardjo, 2010).
Adapun yang menjadi faktor resiko terjadinya ketuban pecah dini adalah : (Prawirohardjo, 2010)
a.      Infeksi (amnionitis atau korioamnionitis)
Korioamnionitis adalah keadaan pada ibu hamil dimana korion, amnion dan cairan ketuban terkena infeksi bakteri. Korioamnionitis merupakan komplikasi paling serius bagi ibu dan janin, bahkan dapat menjadi sepsis. Infeksi, yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban maupun asenderen dari vagina atau infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan terjadinya KPD.
b.      Serviks yang inkompeten
Serviks yang inkompeten, kanalis servikalis yang selalu terbuka oleh karena kelainan pada serviks uteri (akibat persalinan, curettage). Serviks yang tidak lagi mengalami kontraksi (inkompetensia), didasarkan pada adanya ketidakmampuan serviks uteri untuk mempertahankan kehamilan. Inkompetensi serviks sering menyebabkan kehilangan kehamilan pada trimester kedua. Kelainan ini dapat berhubungan dengan kelainan uterus yang lain seperti septum uterus dan bikornis. Sebagian besar kasus merupakan akibat dari trauma bedah pada serviks pada konisasi, produksi eksisi loop elektrosurgical, dilatasi berlebihan serviks pada terminasi kehamilan atau laserasi obstetrik.
c.      Trauma
Trauma juga diyakini berkaitan dengan terjadinya ketuban pecah dini. Trauma yang didapat misalnya hubungan seksual saat hamil baik dari frekuensi yang ≥4 kali seminggu, posisi koitus yaitu suami diatas dan penetrasi penis yang sangat dalam sebesar 37,50% memicu terjadinya ketuban pecah dini, pemeriksaan dalam, maupun amnosintesis dapat menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini karena biasanya disertai infeksi.
d.      Ketegangan intra uterin
Perubahan volume cairan amnion diketahui berhubungan erat dengan hasil akhir kehamilan yang kurang bagus. Ketegangan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan (overdistensi uterus) misalnya trauma, hidramnion, gamelli.
e.      Kelainan letak,
Misalnya sungsang sehingga tidak ada bagian terendah yang menutupi pintu atas panggul serta dapat menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah.
f.       Paritas
Faktor paritas, terbagi menjadi primipara dan multipara. Primipara adalah wanita yang pernah hamil sekali dengan janin mencapai titik mampu bertahan hidup. Ibu primipara yang mengalami ketuban pecah dini berkaitan dengan kondisi psikologis, mencakup sakit saat hamil, gangguan fisiologis seperti emosi dan termasuk kecemasan akan kehamilan. Selain itu, hal ini berhubungan dengan aktifitas ibu saat hamil yaitu akhir triwulan kedua dan awal triwulan ketiga kehamilan yang tidak terlalu dibatasi dan didukung oleh faktor lain seperti keputihan atau infeksi maternal. Sedangkan multipara adalah wanita yang telah beberapa kali mengalami kehamilan dan melahirkan anak hidup. Wanita yang telah melahirkan beberapa kali dan mengalami ketuban pecah dini pada kehamilan sebelumnya serta jarak kelahiran yang terlampau dekat, diyakini lebih beresiko akan mengalami ketuban pecah dini pada kehamilan berikutnya.
g.      Usia kehamilan
Persalinan preterm terjadi tanpa diketahui penyebab yang jelas, infeksi diyakini merupakan salah satu penyebab terjadinya KPD dan persalinan preterm (Prawirohardjo, 2010). Pada kelahiran <37 minggu sering terjadi pelahiran preterm, sedangkan bila ≥47 minggu lebih sering mengalami KPD (Manuaba, 2010).
Komplikasi paling sering terjadi pada ketuban pecah dini sebelum usia kehamilan 37 minggu adalah sindroma distress pernapasan, yang terjadi pada 10-40% bayi baru lahir. Risiko infeksi meningkat pada kejadian ketuban pecah dini, selain itu juga terjadinya prolapsus tali pusat. Risiko kecacatan dan kematian janin meningkat pada ketuban pecah dini preterm. Hipoplasia paru merupakan komplikasi fatal yang terjadi pada ketuban pecah dini preterm. Kejadiannya mencapai 100% apabila ketuban pecah dini preterm terjadi pada usia kehamilan kurang dari 23 minggu.
h.      Riwayat ketuban pecah dini sebelumnya
Riwayat KPD sebelumnya beresiko 2-4 kali mengalami KPD kembali. Patogenesis terjadinya ketuban pecah dini secara singkat ialah akibat adanya penurunan kandungan kolagen dalam membrane sehingga memicu terjadinya ketuban pecah dini dan ketuban pecah dini preterm terutama pada pasien risiko tinggi. Wanita yang mengalami ketuban pecah dini pada kehamilan atau menjelang persalinan maka pada kehamilan berikutnya wanita yang telah mengalami ketuban pecah dini akan lebih beresiko mengalaminya kembali antara 3-4 kali dari pada wanita yang tidak mengalami ketuban pecah dini sebelumnya, karena komposisi membran yang menjadi mudah rapuh dan kandungan kolagen yang semakin menurun pada kehamilan berikutnya.

3.      Patofisiologi Ketuban Pecah Dini
Mekanisme terjadinya ketuban pecah dini menurut Manuaba (2010) adalah :
a.    Terjadinya pembukaan premature serviks
b.    Membran terkait dengan pembukaan terjadi devaskularisasi serta  nekrosis dan dapat diikuti pecah spontan
c.    Jaringan ikat yang menyangga membran ketuban makin berkurang
d.    Melemahnya daya tahan ketuban dipercepat dengan infeksi yang mengeluarkan enzim proteolotik dan enzim kolagenase.

4.      Tanda dan Gejala Ketuban Pecah Dini
Menurut Manuaba (2010), tanda dan gejala pada kehamilan yang mengalami KPD adalah keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina. Aroma air ketuban berbau amis dan tidak seperti bau amoniak, mungkin cairan tersebut masih merembes atau menetes, dengan ciri pucat dan bergaris warna darah. Cairan ini tidak akan berhenti atau kering karena terus diproduksi sampai kelahiran. Tetapi bila duduk/berdiri, kepala janin yang sudah terletak di bawah biasanya mengganjal atau menyumbat kebocoran untuk sementara. Demam, bercak vagina yang banyak, nyeri perut, denyut jantung janin bertambah cepat merupakan tanda infeksi yang terjadi.

5.      Komlpikasi Ketuban Pecah Dini
Komplikasi yang terjadi pada KPD meliputi mudah terjadinya infeksi intra uterin, partus prematur, dan prolaps bagian janin terutama tali pusat (Manuaba, 2009). Terdapat tiga komplikasi utama yang terjadi pada KPD yaitu peningkatan morbiditas neonatal oleh karena prematuritas, komplikasi selama persalinan dan kelahiran, dan resiko infeksi baik pada ibu maupun janin. Risiko infeksi karena ketuban yang utuh merupakan penghalang penyebab infeksi (Prawirohardjo, 2010).
Ketuban Pecah Dini yang terjadi terlalu dini menyebabkan pertumbuhan janin terhambat, kelainan disebabkan kompresi muka dan anggota badan janin, serta hipoplasi pulmonal. Komplikasi akibat KPD kepada bayi diantaranya adalah IUFD, asfiksia dan prematuritas. Sedangkan pada ibu diantaranya adalah partus lama, infeksi intrauterin, atonia uteri, infeksi nifas, dan perdarahan post partum (Mochtar, 2007).

6.      Diagnosa Ketuban Pecah Dini
Menurut Prawirohardjo (2010) untuk mendiagnosa ketuban pecah dini yaitu dengan menentukan pecahnya selaput ketuban di vagina. Jika tidak ada dapat dicoba dengan menggerakan sedikit bagian terbawah janin atau meminta pasien batuk atau mengedan. Penentuan cairan ketuban dapat dilakukan dengan tes lakmus (nitrazin test) merah menjadi biru. Tentukan usia kehamilan, bila perlu dengan pemeriksaan USG. Tentukan ada tidaknya infeksi. Tanda-tanda infeksi adalah bila suhu ibu ≥48°C serta air ketuban keruh dan berbau. Leukosit darah > 15.000/mm3. Tentukan tanda-tanda persalinan, tentukan adanya kontraksi yang teratur. Periksa dalam dilakukan bila akan dilakukan penanganan aktif (terminasi kehamilan).

7.      Pemeriksaan Penunjang Ketuban Pecah Dini
a.      Pemeriksaan laboratorium
1)    Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa : warna. Konsentrasi, baud an pHnya.
2)    Cairan yang keluar dari vagina ini ada kemungkinan air ketuban, urine, atau secret vagina.
3)    Secret ibu hamil pH: 4-5, dengan kertas nitrazin tidak berubah warna tetap kuning.
4)    Tes lakmus (nitrazin), jika kertas lakmus merah berubah menjadi biru menunjukan adanya air ketuban (alkalis). pH air ketuban 7-7,5, darah dan infeksi vagina dapat menghasilkan tes yang positif palsu.
5)    Mikroskopik (tes pakis), dengan meneteskan air ketuban pada gelas objek dan dibiarkan kering. Pemeriksaan mikroskopik menunjukan daun pakis. (Varney, 2007)
b.      Pemeriksaan Ultrasonogafi (USG)
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam kavum uteri. Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban yang sedikit. Namun sering terjadi kesalahan pada penderita oligohidramnion (Varney, 2007).

8.      Penatalaksanaan Ketuban Pecah Dini
Sebagai gambabaran umum untuk tatalaksana ketuban pecah dini dapat dijabarkan sebagai berikut: (Manuaba, 2010)
a.      Mempertahankan kehamilan sampai cukup matur khususnya maturitas paru sehingga mengurangi kejadian kegagalan perkembangan paru yang sehat.
b.      Terjadi infeksi dalam rahim, yaitu korioamnionitis yang menjadi peicu sepsis, meningitis janin, dan persalinan prematuritas.
c.      Dengan perkiraan janin sudah cukup besar dan persalinan diharapkan berlangsung dalam waktu 72 jam dapat diberikan kortikosteroid, sehingga kematangan paru janin dapat terjamin.
Kehamilan ≥47 minggu, induksi dengan oksitosin. Bila gagal seksio sesarea. Dapat pula diberikan misoprostol 25µg – 50µg intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali. Bila skor pelvic < 5, lakukan pematangan serviks, kemudian induksi. Jika tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio sesarea. Bila skor pelvic > 5, induksi persalinan (Prawirohardjo, 2010).
Berikut bagan penatalaksaan ketuban pecah dini menurut Manuaba (2010) sebagai berikut :


Bagan 2.1 Penatalaksaan Ketuban Pecah Dini
Sumber : Manuaba (2010)


B.     Faktor yang Berkaitan dengan Kejadian Ketuban Pecah Dini
1.      Usia Kehamilan
Usia kehamilan adalah ukuran lama waktu seorang janin berada dalam rahim (Prawirohardjo, 2010). Umur atau usia kehamilan adalah lamanya kehamilan ibu. Kehamilan dibagi atas 3 triwulan (trimester) : kehamilan triwulan I antara 0-12 minggu, kehamilan triwulan II antara 13-28 minggu dan kehamilan triwulan III antara 29-40 minggu (Manuaba, 2010).
Usia kehamilan pada saat kelahiran merupakan satu-satunya alat ukur kesehatan janin yang paling bermanfaat dan waktu kelahiran sering ditentukan dengan pengkajian usia kehamilan (Varney, 2007). Usia kehamilan merupakan salah satu prediktor penting bagi kelangsungan hidup janin dan kualitas hidupnya. Persalinan umumnya terjadi pada usia kehamilan cukup bulan. Pada kehamilan umur 20 minggu berisiko terjadi komplikasi kehamilan (Mansjoer, 2010).
Janin dikatakan cukup bulan (aterm) apabila usia kehamilannya mencapai 37 minggu lengkap (atau dengan kata lain 38 minggu) hingga 42 minggu. Bila kurang daripada itu disebut sebagai “prematur/preterm” (<37 minggu) dan jika lebih dinamakan “postmatur/ postterm” (≥48 minggu) (Manuaba, 2010).
Manuaba (2010) menjelaskan bahwa usia kehamilan berkaitan dengan kejadian KPD. Kejadian KPD lebih sering terjadi pada persalinan usia kehamilan ≥47 minggu, dan pada persalinan usia <37 minggu tidak terlalu sering terjadi KPD dan hanya kelahiran preterm yang sering terjadi. Akan tetapi
Komplikasi yang timbul akibat ketuban pecah dini bergantung pada usia kehamilan, dimana ha tersebut dapat mengakibatkan terjadi infeksi maternal ataupun neonatal, persalinan prematur, hipoksia karena kompresi tali pusat, deformitas janin, meningkatnya insiden Sectio Caesaria, atau gagalnya persalinan normal. Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh persalinan. Periode laten tergantung umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90% terjadi dalam 24 jam setelah ketuban pecah. Pada kehamilan antara 28-34 minggu 50% persalinan dalam 24 jam. Pada kehamilan kurang dari 26 minggu persalinan terjadi dalam 1 minggu (Manuaba, 2010). Semakin lama menunggu, kemungkinan infeksi semakin besar dan membahayakan janin serta ibu (Varney, 2007).
Hasil penelitian Oktavia (2013) menjelaskan bahwa paritas ibu bersalin resiko tinggi sebanyak 15 (41,7%) mengalami ketuban pecah dini dan 21 (58,3%) tidak mengalami ketuban pecah dini. Pada usia kehamilan diketahui bahwa ibu dengan usia kehamilan prematur sebanyak 9 (64,3%) mengalami ketuban pecah dini dan 5 (35,7%) tidak mengalami ketuban pecah dini, sedangkan pada ibu dengan usia kehamilan matur sebanyak 15 (19,2%) mengalami ketuban pecah dini dan 63 (73,9%) tidak mengalami ketuban pecah dini.
Hasil penelitian Susilowati (2009) mengenai gambaran karakteristik ibu bersalin dengan KPD, diketahui bahwa ibu yang mengalami ketuban pecah dini sebagian besar umur kehamilan antara 37-42 minggu yaitu sebanyak 106 ibu (82,2%).

2.      Paritas
Paritas adalah jumlah kehamilan yang diakhiri dengan kelahiran janin yang memenuhi syarat untuk melangsungkan kehidupan atau pada usia kehamilan lebih dari 28 minggu dan berat janin mencapai lebih dari 1000 gram (Manuaba, 2010). Paritas adalah banyaknya kelahiran hidup yang dipunyai oleh seorang wanita (Prawirohardjo, 2010).
Menurut Prawirohardjo (2010), paritas dapat dibedakan menjadi primipara, multipara dan grandemultipara.
a.      Primipara adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak, yang cukup besar untuk hidup di dunia luar
b.      Multipara adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak lebih dari satu kali (2-4 anak)
c.      Grandemultipara adalah wanita yang telah melahirkan 5 orang anak atau lebih dan biasanya mengalami penyulit dalam kehamilan dan persalinan
Penggolongan paritas bagi ibu yang masih hamil atau pernah hamil berdasarkan jumlahnya menurut Perdinakes-WHOJPHIEGO dalam Varney (2007) yaitu:
a.      Primigravida adalah wanita hamil untuk pertama kalinya
b.      Multigravida adalah wanita yang pernah hamil beberapa kali, di mana kehamilan tersebut tidak lebih dari 4 kali (2-3)
c.      Grandemultigravida adalah wanita yang pernah hamil ≥4 kali.
Paritas 2 – 3 merupakan jumlah paling aman ditinjau dari sudut kesehatan serta sudut kematian maternal dan perinatal (Manuaba, 2010). Paritas 1-2 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut kematian maternal. Paritas 0 dan paritas tinggi (≥4) mempunyai angka kematian maternal lebih tinggi. Lebih tinggi paritas, lebih tinggi kematian maternal. Risiko pada paritas 0 dapat ditangani dengan asuhan obstetri lebih baik. Sedangkan risiko pada paritas tinggi dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga berencana. Sebagian kehamilan pada paritas tinggi adalah tidak direncanakan (Saifuddin, 2006)
Paritas tinggi (pasritas 1 dan ≥4) merupakan salah satu dari penyebab terjadinya kasus ketuban pecah sebelum waktunya. Paritas 1 dan paritas tinggi (≥4) mempunyai angka kematian maternal lebih tinggi. Lebih tinggi paritas lebih tinggi kematian maternal. Risiko pada paritas 1 dapat ditangani dengan asuhan obstetrik lebih baik, sedangkan risiko pada paritas tinggi dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga berencana dengan dua anak cukup dan mempunyai lebih dari tiga termasuk paritas tinggi dan maksimal dua anak digolongkan dengan paritas rendah. Sebagian kehamilan pada paritas tinggi adalah tidak direncanakan.
Paritas kedua dan ketiga merupakan keadaan yang relatif lebih aman untuk hamil dan melahirkan pada masa reproduktif, karena pada keadaan tersebut dinding uterus belum banyak mengalami perubahan, dan serviks belum terlalu sering mengalami pembukaan sehingga dapat menyanggah selaput ketuban dengan baik (Varney. 2007). Ibu yang melahirkan beberapa kali lebih berisiko mengalami KPD, oleh karena vaskularisasi pada uterus mengalami gangguan yang mengakibatkan jaringan ikat selaput ketuban mudah rapuh dan akhirnya pecah spontan.
Wanita yang telah melahirkan beberapa kali dan pernah mengalami KPD pada kehamilan sebelumnya serta jarak kelahiran yang terlampau dekat diyakini lebih beresiko akan mengalami KPD pada kehamilan berikutnya (Varney, 2007).
Hasil penelitian Sari (2014) menjelaskan bahwa ibu dengan paritas grandemultipara sebagian besar mengalami KPD sebanyak 14 kasus (73,7%) sedangkan ibu yang tidak mengalami KPD hampir seluruhnya adalah ibu dengan paritas primipara 85 kasus (88,5%) dan multipara 150 kasus (82,9%). Hasil penelitian Susilowati (2009) mengenai karakteristik ibu bersalin dengan KPD, diketahui bahwa ibu yang mengalami ketuban pecah dini sebagian besar adalah primigravida yaitu sebanyak 85 ibu (65,9%).

Hasil penelitian Oktavia (2013) menjelaskan bahwa paritas ibu bersalin resiko tinggi sebanyak 15 (41,7%) mengalami ketuban pecah dini dan 21 (58,3%) tidak mengalami ketuban pecah dini, sedangkan paritas ibu bersalin resiko rendah sebanyak 9 (16,1%) mengalami ketuban pecah dini dan 47 (83,9%) tidak mengalami ketuban pecah dini. 

Comments

Popular posts from this blog

LAPORAN PENDAHULUAN HEMOROID ( LP HEMOROID )

SATUAN ACARA PENYULUHAN NUTRISI IBU HAMIL ( SAP NUTRISI IBU HAMIL )

Gizi Untuk Usia Sekolah Dan Remaja