LAPORAN PENDAHULUAN DEKUBITUS ( LP DEKUBITUS )
LAPORAN PENDAHULUAN
DEKUBITUS
A.
Pengertian
Luka Dekubitus
Dekubitus berasal dari
bahasa latin decumbree yang berarti merebahkan diri yang didefenisikan sebagai
suatu luka akibat posisi penderita yang tidak berubah dalam jangka waktu lebih
dari 6 jam (Sabandar, 2008). (National pressure Ulcer Advisory panel (NPUAP), 1989 dalam Potter
& Perry, 2005) mengatakan dekubitus merupakan nekrosis jaringan lokal yang
cenderung terjadi ketika jaringan lunak tertekan diantara tonjolan tulang
dengan permukaan eksternal dalam jangka waktu lama. Terjadi gangguan
mikrosirkulasi jaringan lokal dan mengakibatkan hipoksia jaringan. Jaringan
memperoleh oksigen dan nutrisi serta membuang sisa metabolisme melalui darah.
Beberapa faktor yang mengganggu proses ini akan mempengaruhi metabolisme sel
dengan cara mengurangi atau menghilangkan
sirkulasi jaringan yang menyebabkan iskemi jaringan. Iskemia jaringan adalah
tidak adanya darah secara lokal atau penurunan aliran darah akibat obstruksi
mekanika (Pires & Muller, 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Penurunan
aliran darah menyebabkan daerah tubuh menjadi pucat. Kerusakan jaringan terjadi
ketika tekanan mengenai kapiler yang cukup besar dan menutup kapiler tersebut.
Tekanan pada kapiler merupakan tekanan yang dibutukan untuk menutup kapiler
misalnya jika tekanan melebihi tekanan kapiler normal yang berada pada rentang
16 sampai 32 mmHg (Maklebust, 1987 dalam Potter & Perry, 2005). Setelah
priode iskemi, kulit yang terang mengalami satu atau dua perubahan hiperemi.
Hiperemia reaktif normal (kemerahan) merupakan efek vasodilatasi lokal yang
terlihat, respon tubuh normal terhadap kekurangan aliran darah pada jaringan
dibawahnya, area pucat setelah dilakukan tekanan dengan ujung jari dan
hyperemia reaktif akan menghilang dalam waktu kurang dari satu jam. Kelainan
hyperemia reaktif adalah vasodilatasi dan indurasi yang berlebihan sebagai
respon dari tekanan. Kulit terlihat berwarna merah muda terang hingga merah.
Indurasi adalah area edema lokal dibawah kulit. Kelainan hyperemia reaktif
dapat hilang dalam waktu antara lebih dari 1 jam hingga 2 minggu setelah tekanan
di hilangkan (Pirres & Muller, 1991 dalam Potter & Perry, 2005).
Ketika
pasien berbaring atau duduk maka berat badan berpindah pada penonjolan tulang.
Semakin lama tekanan diberikan, semakin besar resiko kerusakan kulit. Tekanan
menyebabkan penurunan suplai darah pada jaringan sehingga terjadi iskemi.
Apabila tekanan dilepaskan akan terdapat hyperemia reaktif, atau peningkatan
aliran darah yang tiba-tiba ke daerah tersebut. Hiperemia reaktif merupakan
suatu respons kompensasi dan hanya efektif jika tekan dikulit di hilangkan
sebelum terjadi nekrosis atau kerusakan. (Potter & Perry, 2005).
B.
Faktor
resiko dekubitus
Menurut Potter
& Perry (2005), ada berbagai faktor yang menjadi predisposisi terjadi luka
dekubitus pada pasien yaitu:
1. Gangguan
Input Sensorik
Pasien yang mengalami perubahan persepsi
sensorik terhadap nyeri dan tekanan beresiko tinggi menggalami gangguan
integritas kulit dari pada pasien yang sensasinya normal. Pasien yang mempunyai
persesi sensorik yang utuh terhadap nyeri dan tekanan dapat mengetahui jika salah
satu bagian tubuhnya merasakan tekanan atau nyeri yang terlalu besar. Sehingga
ketika pasien sadar dan berorientasi, mereka dapat mengubah atau meminta
bantuan untuk mengubah posisi.
2. Gangguan
Fungsi Motorik
Pasien
yang tidak mampu mengubah posisi secara mandiri beresiko tinggi terhadap
dekubitus. Pasien tersebut dapat merasakan tekanan tetapi, tidak mampu mengubah posisi secara mandiri untuk
menghilangkan tekanan tersebut. Hal ini meningkatkan peluang terjadinya
dekubitus. Pada pasien yang mengalami cedera medulla spinalis terdapat gangguan
motorik dan sensorik. Angka kejadian dekubitus pada pasien yang mengalami cedera
medula spinalis diperkirakan sebesar 85%, dan komplikasi luka ataupun berkaitan
dengan luka merupakan penyebab kematian pada 8% populasi ini (Ruller &
Cooney, 1981 dalam Potter & Perry, 2005).
C.
Faktor yang mempengaruhi pembentukan luka decubitus
1.
Mobilitas dan aktivitas
Mobilitas adalah
kemampuan untuk mengubah dan mengontrol posisi tubuh, sedangkan aktivitas
adalah kemampuan untuk berpindah. Pasien yang berbaring terus menerus ditempat
tidur tanpa mampu untuk merubah posisi beresiko tinggi untuk terkena luka
tekan. Imobilitas adalah faktor yang paling signifikan dalam kejadian luka
tekan. Penelitian yang dilakukan Suriadi (2003) di salah satu rumah sakit di
Pontianak juga menunjukan bahwa mobilitas merupakan faktor yang signifikan
untuk perkembangan luka tekan.
2.
Penurunan sensori
persepsi
Pasien dengan penurunan
sensori persepsi akan mengalami penurunan untuk merasakan sensari nyeri akibat
tekanan diatas tulang yang menonjol. Bila ini terjadi dalam durasi yang lama,
pasien akan mudah terkena luka tekan.
3.
Kelembapan
Kelembapan yang
disebabkan karena inkontinensia dapat mengakibatkan terjadinya maserasi pada
jaringan kulit. Jaringan yang mengalami maserasi akan mudah mengalami erosi.
Selain itu kelembapan juga mengakibatkan kulit mudah terkena pergesekan
(friction) dan perobekan jaringan (shear). Inkontinensia alvi lebih signifikan
dalam perkembangan luka tekan daripada inkontinensia urin karena adanya bakteri
dan enzim pada feses dapat merusak permukaan kulit.
4.
Tenaga yang merobek (
shear )
Merupakan kekuatan
mekanis yang meregangkan dan merobek jaringan, pembuluh darah serta struktur
jaringan yang lebih dalam yang berdekatan dengan tulang yang menonjol. Contoh
yang paling sering dari tenaga yang merobek ini adalah ketika pasien
diposisikan dalam posisi semi fowler yang melebihi 30 derajad. Pada posisi ini
pasien bisa merosot kebawah, sehingga mengakibatkan tulangnya bergerak kebawah
namun kulitnya masih tertinggal. Ini dapat mengakibatkan oklusi dari pembuluh
darah, serta kerusakan pada jaringan bagian dalam seperti otot, namun hanya
menimbulkan sedikit kerusakan pada permukaan kulit.
5.
Pergesekan ( friction)
Pergesekan terjadi ketika
dua permukaan bergerak dengan arah yang berlawanan. Pergesekan dapat
mengakibatkan abrasi dan merusak permukaan epidermis kulit. Pergesekan bisa
terjadi pada saat penggantian sprei pasien yang tidak berhati-hati.
6.
Nutrisi
Hipoalbuminemia,
kehilangan berat badan, dan malnutrisi umumnya diidentifikasi sebagai faktor
predisposisi untuk terjadinya luka tekan. Menurut penelitian Guenter (2000)
stadium tiga dan empat dari luka tekan pada orangtua berhubungan dengan
penurunan berat badan, rendahnya kadar albumin, dan intake makanan yang tidak
mencukupi.
7.
Usia
Pasien yang sudah tua
memiliki resiko yang tinggi untuk terkena luka tekan karena kulit dan jaringan
akan berubah seiring dengan penuaan. Penuaan mengakibatkan kehilangan otot,
penurunan kadar serum albumin, penurunan respon inflamatori, penurunan
elastisitas kulit, serta penurunan kohesi antara epidermis dan dermis.
Perubahan ini berkombinasi dengan faktor penuaan lain akan membuat kulit
menjadi berkurang toleransinya terhadap tekanan, pergesekan, dan tenaga yang
merobek.
8.
Tekanan arteriolar yang
rendah
Tekanan arteriolar yang
rendah akan mengurangi toleransi kulit terhadap tekanan sehingga dengan
aplikasi tekanan yang rendah sudah mampu mengakibatkan jaringan menjadi
iskemia. Studi yang dilakukan oleh Nancy Bergstrom ( 1992) menemukan bahwa
tekanan sistolik dan tekanan diastolik yang rendah berkontribusi pada
perkembangan luka tekan.
9.
Stress emosional
Depresi dan stress
emosional kronik misalnya pada pasien psikiatrik juga merupakan faktor resiko
untuk perkembangan dari luka tekan.
10. Merokok
Nikotin yang terdapat
pada rokok dapat menurunkan aliran darah dan memiliki efek toksik terhadap
endotelium pembuluh darah. Menurut hasil penelitian Suriadi (2002) ada
hubungaan yang signifikan antara merokok dengan perkembangan terhadap luka
tekan.
11. Temperatur
kulit
Menurut hasil penelitian
Sugama (1992) peningkatan temperatur merupakan faktor yang signifikan dengan
resiko terjadinya luka tekan.Menurut hasil penelitian, faktor penting lainnya
yang juga berpengaruh terhadap risiko terjadinya luka tekan adalah tekanan
antar muka ( interface pressure). Tekanan antar muka adalah kekuatan per unit
area antara tubuh dengan permukaan matras. Apabila tekanan antar muka lebih
besar daripada tekanan kapiler rata rata, maka pembuluh darah kapiler akan
mudah kolap, daerah tersebut menjadi lebih mudah untuk terjadinya iskemia dan
nekrotik. Tekanan kapiler rata rata adalah sekitar 32 mmHg. Menurut penelitian
Sugama (2000) dan Suriadi (2003) tekanan antarmuka yang tinggi merupakan faktor
yang signifikan untuk perkembangan luka tekan. Tekanan antar muka diukur dengan
menempatkan alat pengukur tekanan antar muka ( pressure pad evaluator) diantara
area yang tertekan dengan matras.
D.
Patogenesis luka decubitus
Tiga elemen yang menjadi dasar terjadinya
dekubitus yaitu:
1.
Intensitas tekanan dan
tekanan yang menutup kapiler (Landis, 1930)
2.
Durasi dan besarnya
tekanan (Koziak, 1953)
3.
Toleransi jaringan
(Husain, 1953)
Dekubitus terjadi sebagai
hasil hubungan antar waktu dengan tekanan (Stortts, 1988 dalam Potter &
Perry, 2005). Semakin besar tekanan dan durasinya, maka semakin besar pula
insidensinya terbentuknya luka ( Potter & Perry, 2005).
Kulit dan jaringan
subkutan dapat mentoleransi beberapa tekanan. Tapi pada tekanan eksternal
terbesar dari pada tekanan dasar kapiler akan menurunkan atau menghilangkan
aliran darah ke dalam jaringan sekitarnya. Menjadi hipoksia sehingga terjadi
cedera iskemi. Jika tekanan ini lebih besar dari 32 mmHg dan tidak dihilangkan
dari tempat yang mengalami hipoksia, maka pembuluh darah kolaps dan trombosis
(Maklebust, 1987 dalam Potter & Perry, 2005).
Jika tekanan dihilangkan
sebelum titik kritis maka sirkulasi pada jaringan akan pulih kembali melalui
mekanisme fisiologis hiperemia reaktif, karena kulit mempunyai kemampuan yang
lebih besar untuk mentoleransi iskemi dari otot, maka dekubitus dimulai di
tulang dengan iskemi otot yang berhubungan dengan tekanan yang akhirnya melebar
ke epidermis (Maklebust, 1995 dalam Potter & Perry, 2005).
Pembentukan luka
dekubitus juga berhubungan dengan adanya gaya gesek yang terjadi saat menaikkan
posisi klien di atas tempat tidur. Area sakral dan tumit merupakan area yang
paling rentan (Maklebust, 1987 dalam Potter & Perry, 2005).
Efek tekanan juga dapat
di tingkatkan oleh distribusi berat badan yang tidak merata. Seseorang
mendapatkan tekanan konstan pada tubuh dari permukaan tempatnya berada karena
adanya gravitasi (Berecek, 1975 dalam Potter & Perry, 2005).
Jika tekanan tidak
terdistribusi secara merata pada tubuh maka gradien tekanan jaringan yang
mendapatkan tekanan akan meningkat dan metabolisme sel kulit di titik tekanan
mengalami gangguan.
E.
Klasifikasi luka decubitus
Salah satu cara yang
paling mengklasifikasikan dekubitus adalah dengan menggunakan sistem nilai atau
tahapan.
Sistem ini pertama kali
dikemukakan oleh Shea (1975 dalam Potter & Perry, 2005) sebagai salah satu
cara untuk memperoleh metode jelas dan konsisten untuk menggambarkan dan
mengklasifikasikan luka dekubitus.
Sistem tahapan luka
dekubitus berdasarkan gambaran kedalaman jaringan yang rusak (Maklebust, 1995
dalam Potter & Perry, 2005).
Luka yang tertutup dengan
jaringan nekrotik seperti eschar tidak dapat dimasukkan dalam tahapan hingga
jaringan tersebut dibuang dan kedalaman luka dapat di observasi. Peralatan
ortopedi dan braces dapat mempersulit pengkajian dilakukan (AHPCR, 1994 dalam
Potter & Perry, 2005).
Tahapan dibawah ini
berasal dari NPUAP (1992), dan tahapan ini juga digunakan dalam pedoman
pengobatan AHPCR (1994). Pada konferensi konsensus NPUAP (1995) mengubah
defenisi untuk tahap I yang memperlihatkan karakteristik pengkajian pasien
berkulit gelap. Berbagai indikator selain warna kulit, seperti suhu, adanya
pori-pori ”kulit jeruk”, kekacauan atau ketegangan, kekerasan, dan data
laboratorium, dapat membantu mengkaji pasien berkulit gelap (Maklebust &
Seggreen, 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Bennet (1995 dalam Potter &
Perry, 2005). Menyatakan saat mengkaji kulit pasien berwarna gelap, memerlukan
pencahayaan sesuai untuk mengkaji kulit secara akurat. Dianjurkan berupa cahaya
alam atau halogen. Hal ini mencegah munculnya warna biru yang dihasilkan dari
sumber lampu pijar pada kulit berpigmen gelap, yang dapat mengganggu pengkajian
yang akurat. Menurut NPUAP (1995 dalam Potter & Perry, 2005)
Ada
perbandingan luka dekubitus derajat I sampai derajat IV yaitu :
1.
Derajat I: Eritema tidak
pucat pada kulit utuh, lesi luka kulit yang diperbesar. Kulit tidak berwarna,
hangat, atau keras juga dapat menjadi indikator.
2.
Derajat II: Hilangnya
sebagian ketebalan kulit meliputi epidermis dan dermis. Luka superficial dan
secara klinis terlihat seperti abrasi, lecet, atau lubang yang dangkal.
3.
Derajat III: Hilangnya
seluruh ketebalan kulit meliputi jaringan subkutan atau nekrotik yang mungkin
akan melebar kebawah tapi tidak melampaui fascia yang berada di bawahnya. Luka
secara klinis terlihat seperti lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak
jaringan sekitarnya.
4.
Derajat IV: Hilangnya
seluruh ketebalan kulit disertai destruksi ekstensif, nekrosis jaringan; atau
kerusakan otot, tulang, atau struktur penyangga misalnya kerusakan jaringan
epidermis, dermis, subkutanes, otot, dan kapsul sendi.
F.
Komplikasi luka decubitus
Komplikasi
sering terjadi pada luka dekubitus derajat III dan IV, walaupun dapat terjadi
pada luka yang superfisial. Menurut subandar (2008) komplikasi yang dapat
terjadi antara lain:
1.
Infeksi,
umumnya bersifat multibakterial baik aerobik maupun anaerobik.
2.
Keterlibatan
jaringan tulang dan sendi seperti periostitis, osteotitis, osteomielitis, dan
arthritis septik.
3.
Septikimia,
yaitu suatu kondisi dimana terjadi multiplikasi bakteri penyebab penyakit di
dalam darah.
4.
Animea,
kondisi dimana jumlah sel darah merah atau hemoglobin (protein pembawa oksigen)
dalam sel darah merah berada di bawah normal.
5.
Hipoalbuminemia,
dimana kadar albumin serum <3,5 mg/dl. Kadar normalnya antara 3,5 – 5 mg/dl.
6.
Kematian.
G.
Tempat terjadinya luka decubitus
Beberapa tempat yang paling sering terjdinya dekubitus
adalah sakrum, tumit, siku, maleolus lateral, trokonter besar, dan tuberostis
iskial (Meehan, 1994). Menurut Bouwhuizen (1986) dan menyebutkan daerah tubuh
yang sering terkena luka dekubitus adalah:
a.
Pada
penderita pada posisi terlentang: pada daerah belakang kepala, daerah tulang
belikat, daerah bokong dan tumit.
b.
Pada
penderita dengan posisi miring: daerah pinggir kepala (terutama daun telinga),
bahu, siku, daerah pangkal paha, kulit pergelangan kaki dan bagian atas
jari-jari kaki.
c.
Pada
penderita dengan posisi tengkurap: dahi, lengan atas, tulang iga, dan lutut.
H.
Pencegahan luka decubitus
Tahap pertama pencegahan adalah mengkaji
faktor-faktor resiko klien. Kemudian perawat mengurangi faktor-faktor lingkungan
yang mempercepat terjadinya dekubitus, seperti suhu ruangan panas (penyebab
diaporesis), kelembaban, atau linen tempat tidur yang berkerut (Potter &
Perry, 2005).
Identifikasi awal pada klien beresiko dan
faktor-faktor resikonya membantu perawat mencegah terjadinya dekubitus.
Pencegahan meminimalkan akibat dari faktor-faktor resiko atau faktor yang
member kontribusi terjadinya dekubitus. Tiga area intervensi keperawatan utama
mencegah terjadinya dekubitus adalah perawatan kulit, yang meliputi higienis
dan perawatan kulit topikal, pencegahan mekanik dan pendukung untuk permukaan,
yang meliputi pemberian posisi, penggunaan tempat tidur dan kasur terapeutik,
dan pendidikan (Potter & Perry, 2005).
Potter & Perry (2005), menjelaskan tiga area
intervensi keperawatan dalam pencegahan dekubitus, yaitu :
1.
Higiene dan Perawatan Kulit
Perawat harus menjaga kulit klien tetap bersih
dan kering. Pada perlindungan dasar untuk mencegah kerusakan kulit, maka kulit
klien dikaji terus-menerus oleh perawat, dari pada delegasi ke tenaga kesehatan
lainnya. Jenis produk untuk perawatan kulit sangat banyak dan penggunaannya
harus disesuaikan dengan kebutuhan klien. Ketika kulit dibersihkan maka sabun
dan air panas harus dihindari pemakaiannya. Sabun dan lotion yang mengandung alkohol menyebabkan kulit kering dan
meninggalkan residu alkalin pada kulit. Residu alkalin menghambat pertumbuhan
bakteri normal pada kulit, dan meningkatkan pertumbuhan bakteri oportunistik
yang berlebihan, yang kemudian dapat masuk pada luka terbuka.
2.
Pengaturan Posisi
Intervensi pengaturan posisi diberikan untuk
mengurangi takanan dan gaya gesek pada kilit. Dengan menjaga bagian kepala
tempat tidur setiggi 30 derajat atau kurang akan menurunkan peluang terjadinya
dekubitus akibat gaya gesek. Posisi klien immobilisasi harus diubah sesuai
dengan tingkat aktivitas, kemampuan persepsi, dan rutinitas sehari-hari. Oleh
karena itu standar perubahan posisi dengan interval 1 ½ sampai 2 jam mungkin
tidak dapat mencegah terjadinya dekubitus pada beberapa klien. Telah
direkomendasikan penggunaan jadwal tertulis untuk mengubah dan menentukan
posisi tubuh klien minimal setiap 2 jam. Saat melakukan perubahan posisi, alat
Bantu unuk posisi harus digunakan untuk melindungi tonjolan tulang. Untuk
mencegah cidera akibat friksi, ketika mengubah posisi, lebih baik diangkat
daripada diseret. Pada klien yang mampu duduk di atas kursi tidak dianjurkan
duduk lebih dari 2 jam.
3.
Alas pendukung (kasur dan tempat tidur
terapeutik)
Berbagai jenis alas pendukung, termasuk kasur
dan tempat tidur khusus, telah dibuat untuk mengurangi bahaya immobilisasi pada
sistem kulit dan muskuloskeletal. Tidak ada satu alatpun yang dapat
menghilangkan efek tekanan pada kulit. Pentingnya untuk memahami perbedaan
antra alas atau alat pendukung yang dapat mengurangi tekanan dan alat pendukung
yang dapat menghilangkan tekanan. Alat yang menghilangkan tekanan dapat
mengurangi tekanan antar permukaan (tekanan antara tubuh dengan alas pendukung)
dibawah 32 mmHg (tekanan yang menutupi kapiler. Alat untuk mengurangi tekanan
juga mengurangi tekanan antara permukaan tapi tidak di bawah besar tekanan yang
menutupi kapiler.
Potter & Perry (2005), mengidentifikasi 9
parameter yang digunakan ketika mengevaluasi alat pendukung dan hubungannya
dengan setiap tiga tujuan yang telah dijelaskan tersebut :
1.
Harapan hidup
2.
kontrol kelembaban kulit
3.
Kontrol suhu kulit
4.
Perlunya servis produk
5.
Perlindungan dari jatuh
6.
Kontrol infeksi
7.
Redistribusi tekanan
8.
Kemudahan terbakar api
9.
Friksi kllien/produk
I.
Penatalaksanaan decubitus
Penatalaksanaan klien dekubitus memerlukan
pendekatan holistik yang menggunakan keahlian pelaksana yang berasal dari
beberapa disiplin ilmu kesehatan. Selain perawat, keahlian pelaksana termasuk
dokter, ahli fisiotrapi, ahli terapi okupasi, ahli gizi, dan ahli farmasi.
Beberapa aspek dalam penatalaksanaan dekubitus antara lain perawatan luka
secara lokal dan tindakan pendukung seperti gizi yang adekuat dan cara
penghilang tekanan (Potter & Perry, 2005).
Selama penyembuhan dekubitus, maka luka harus
dikaji untuk lokasi, tahap, ukuran, traktusinus, kerusakan luka, luka menembus,
eksudat, jaringang nekrotik, dan keberadaan atau tidak adanya jaringan
granulasi maupun epitelialisasi. Dekubitus harus dikaji ulang minimal 1 kali
per hari. Pada perawatan rumah banyak pengkajian dimodifikasi karena pengkajian
mingguan tidak mungkin dilakukan oleh pemberi perawatan. Dekubitus yang bersih
harus menunjukkan proses penyembuhan dalam waktu 2 sampai 4 minggu (Potter
& Perry, 2005 )
Comments