HUBUNGAN MOTIVASI DENGAN KEPATUHAN MINUM OBAT PADA PASIEN DM TIPE II DI PERSADIA RS. DUSTIRA CIMAHI
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Diabetes adalah
penyakit kronis, yang terjadi ketika pankreas tidak memproduksi insulin yang
cukup, atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang
dihasilkan. Hal ini menyebabkan peningkatan konsentrasi glukosa dalam darah
(hiperglikemia) (WHO, 2015). Diabetes
Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya (ADA, 2005). DM merupakan salah satu jenis penyakit tidak menular
yang mendunia dengan prevalensi kejadian yang terus mengalami peningkatan
(Depkes RI, 2008).
Prevalensi
Diabetes di dunia terus meningkat tajam setiap tahunnya, terutama di beberapa negara berkembang, akibat peningkatan
kemakmuran di negara
bersangkutan, akhir-akhir ini banyak disoroti. Peningkatan pendapatan perkapita perubahan gaya hidup terutama di kota-kota besar,
menyebabkan prevalensi penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung koroner
(PJK), Hipertensi, hiperlipidemia, diabetes dan lain-lain. Menurut WHO (2013), pada penderita DM di seluruh penduduk dunia
sekitar 90% mengidap DM tipe II. Diperkirakan pula sebanyak 171 juta orang di
dunia menderita DM pada tahun 2000 dan pada tahun 2030 angka ini akan meningkat
menjadi 366 juta. Tetapi data epidemiologi di negara berkembang memang masih
banyak. Hal ini disebabkan penelitian epidemiologi sangat mahal biayanya. Oleh
karena itu angka prevalensi yang dapat ditelusuri terutama berasal dari Negara
maju. (Bilous & Donelly, 2015).
Menurut data
WHO, jumlah penderita akibat penyakit DM yang meninggal hingga saat ini
mencapai lebih dari 14 juta penduduk diseluruh dunia. Ironisnya, Indonesia
menempati urutan ke 4 terbesar dalam jumlah penderita diabetes di dunia setelah
India, Cina dan Amerika Serikat. Sedangkan dari data Depkes, jumlah pasien
rawat inap maupaun rawat jalan dirumah sakit menempati urutan pertama dari
seluruh penyakit endokrin (Maulana, 2008).
Diabetes di
Indonesia Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2007), angka prevalensi diabetes mellitus
tertinggi terdapat di provinsi Kalimantan Barat dan Maluku Utara (masing-masing
11,1 persen), diikuti Riau (10,4 persen) dan NAD (8,5 persen). Sementara itu, prevalensi diabetes mellitus terendah
ada di provinsi Papua (1,7 persen), diikuti NTT (1,8 persen), prevalensi
Toleransi Glukosa Terganggu tertinggi di Papua Barat (21,8 persen), diikuti
Sulbar (17,6 persen), dan Sulut (17,3 persen), sedangkan terendah di Jambi (4
persen), diikuti NTT (4,9 persen). Angka kematian akibat DM terbanyak pada
kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan sebesar 14,7 persen, sedangkan
didaerah pedesaan sebesar 5,8 persen.
Sedangkan data dari dinas kesehatan kota cimahi (2014)
angka prevalensi DM mencapai 6678 orang, angka tertinggi terdapat di Cimahi Selatan
sebanyak 1,536 orang diikuti Cimahi Utara sebanyak 964 orang, Cibeureum
sebanyak 792 orang, Cigugur Tengah sebanyak 756 orang, Leuwi Gajah sebanyak 518
orang Padasuka 478 orang. Sedangkan
angka terendah terdapat di Citeureup sebanyak 63 orang, diikuti Cimahi Tengah
sebanyak 168 orang, Cibeber sebanyak 240 orang, Melong Tengah sebanyak 277
orang, Pasir Kaliki sebanyak 299 orang, dan di Cipageran sebanyak 300 Orang.
Penjelasan
angka prevalensi di atas didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh Jaka Prasetya (2009) mengenai hubungan motivasi pasien TB Paru dengan
kepatuhan dalam mengikuti program pengobatan sistem DOTS, diperoleh hasil
secara statistik dapat dikatakan ada hubungan yang bermakna antara motivasi
pasien TB Paru dengan kepatuhan dalam program pengobatan, antara yang patuh dan
tidak patuh dengan signifikansi (p value) = 0,0001, alpha = 0,05.
Motivasi merupakan kunci menuju keberhasilan semakin tinggi motivasi maka akan
semakin patuh, dalam hal ini adalah kepatuhan meminum obat dalam mengikuti
program pengobatan system DOTS.
Keberhasilan
suatu pengobatan tidak hanya dipengaruhi oleh kualitas pelayanan kesehatan,
sikap dan keterampilan petugasnya, sikap dan pola perilaku pasien dan
keluarganya, tetapi dipengaruhi juga oleh kepatuhan pasien terhadap
pengobatannya. Hasil terapi tidak akan mencapai tingkat optimal tanpa adanya
kesadaran dari diri pasiennya itu sendiri, bahkan dapat menyebabkan kegagalan
terapi, serta dapat pula menimbulkan komplikasi yang sangat merugikan dan akhirnya
dapat berakibat fatal (Soegondo, 2009).
Kepatuhan pada
pengobatan penyakit yang bersifat kronik, pada umumnya rendah, penelitian pada
penyandang diabetes, mendapatkan 80% diantaranya menyuntik insulin dengan cara
yang tidak tepat, 58% memakai dosis yang salah, dan 75% tidak mengikuti diet yang
dianjurkan. Ketidakpatuhan ini selain merupakan salah satu hambatan untuk
tercapainya tujuan pengobatan, juga mengakibatkan pasien mendapatkan
pemeriksaan atau pengobatan yang sebenarnya tidak diperlukan (Basuki, 2009).
Kepatuhan pasien
terhadap terapi yang sedang dijalaninya akan meningkatkan ketidakpatuhan pasien
dalam mengkonsumsi obatnya (Sitorus, 2010). Faktor tersebut akibat kurangnya
informasi dan komunikasi antar tenaga kesehatan dengan pasien, biasanya karena
kurangnya informasi mengenai hal-hal diatas, maka pasien melakukan self regulationaI terhadap terapi obat
yang diterimanya. Untuk mengatasi ketidakpatuhan tersebut, penyuluhan atau
edukasi bagi penyandang diabetes beserta keluarganya diperlukan. Penyuluhan
diperlukan karena penyakit diabetes adalah penyakit yang berhubungan dengan
gaya hidup. Pengobatan dengan obat-obatan penting, tetapi tidak cukup. Pengobatan
diabetes memerlukan keseimbangan antara beberapa kegiatan yang merupakan bagian
integral dari kegiatan rutin sehari-hari seperti makan, tidur, bekerja dan
lain-lain. Pengaturan jumlah serta jenis
makanan serta olah raga merupakan pengobatan yang tidak dapat ditinggalkan,
walaupun diakui banyak diabaikan oleh penyandang DM serta keluarganya
(Notoatmodjo, 2007)
Berhasilnya
pengobatan diabetes tergantung pada kerja sama antara petugas kesehatan dengan
penyandang DM dan keluarganya. Selain itu, Persadia juga merupakan salah satu alternatif yang baik
untuk meningkatkan kepatuhan penderita dalam menjalani pengobatannya. Persadia (Persatuan
Diabetes Indonesia) merupakan perkumpulan bagi para penderita DM dan di
Persadia juga banyak sekali kegiatan seperti: olah raga senam, penyuluhan,
pemeriksaan gula darah dan lain-lain. Penyandang DM yang mempunyai pengetahuan
yang cukup tentang diabetes, kemudian selanjutnya mengubah prilakunya, akan
dapat mengendalikan penyakitnya sehingga ia dapat hidup lebih berkualitas (Basuki,
2009).
Faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi
kepatuhan pasien terhadap pengobatan diantaranya: usia, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, etnis dan budaya, pendapatan,
biaya pengobatan, tingkat keparahan penyakit DM, kontinuitas cek kesehatan,
keikutsertaan penyuluhan, tingkat pengetahuan, persepsi, motivasi diri, sikap,
kepercayaan, depresi, dan dukungan keluarga. Dalam konteks
seperti ini motivasi diri sangat diperlukan sebagai dorongan, baik dari dalam
maupun dari luar diri manusia untuk menggerakan dan mendorong sikap serta
perubahan perilakunya.Dalam pengobatan bagi penderita DM tipe II, motivasi
didasarkan pada keinginan penderita untuk sembuh dan mengurangi kecacatan
akibat menderita DM sehingga mereka termotivasi untuk mengikuti program
pengobatan yang dianjurkan. (Klienfield,
2006 dalam Suci Lestari,2012).
Dari beberapa faktor diatas motivasi
diri tentang bagaimana individu yang bersangkutan mengatur dirinya agar selalu
patuh dalam pengobatannya menjadi salah satu yang harus diperhatikan.
Menurut Notoatmodjo, (2007)
Motivasi adalah keinginan yang terdapat pada diri seseorang individu
yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan (prilaku) yang mempunyai
hubungan antar kebutuhan,
dorongan, dan tujuan. Motivasi merupakan kunci menuju keberhasilan semakin
tinggi motivasi maka akan semakin patuh, dalam
hal ini adalah kepatuhan meminum obat dalam program pengobatan.
Sedangkan faktor penderita yang
mempengaruhi kepatuhan itu sendiri ialah; stress psikososial, kecemasan akan
keadaan yang lebih parah, motivasi yang rendah, kurangnya pengetahuan dan
ketidakmampuan untuk me-manage gejala
penyakit dan pengobatan, kesalahfahaman dan ketidakterimaan terhadap penyakit, ketidakpercayaan terhadap diagnosis,
kesalahfahaman terhadap instruksi pengobatan, rendahnya harapan terhadap pengobatan, kurangnya kontrol
pengobatan, tidak ada lagi harapan dan perasaan negatif, prustasi dengan
petugas kesehatan, cemas terhadap komplektisitas regimen pengobatan, dan merasa
terstigma oleh penyakit.
Motivasi penderita untuk patuh dalam
pengobatan dipengaruhi oleh nilai dan tempat dimana mereka berobat, (baik biaya
maupun kepercayaan terhadap pelayanan). Sehingga, untuk meningkatkan tingkat
kepatuhan penderita, maka petugas kesehatan perlu meningkatkan kemampuan
manajerial, kepercayaan diri, serta sikap yang meyakinkan kepadapenderita.
Dari
hasil survei didapatkan beberapa responden yang diwawancara oleh peneliti.
Wawancara awal yang dilakukan oleh peneliti terhadap penderita DM
mengindikasikan tidak semua penderita DM memiliki masalah kepatuhan dalam
menjalani pengobatan, yakni mereka yang mempunyai kegiatan-kegiatan yang baik
dalam menjaga pola kesehatannya. Mereka tegabung dalam ikatan “Persadia” (Persatuan Diabetes Indonesia).
Wawancara yang dilakukan oleh peneliti pada 10 orang
menderita DM di Persadia RS Dustira diketahui bahwa 7 orang diantaranya
mengeluh sudah menderita diabetes rata-rata lebih dari 1 tahun. Mereka juga
mengaku sudah bosan, malas, lupa, ataupun suka mengilur-ngulur waktu minum
obat. Selain minum obat yang diabaikan, olah raga dan pola makan yang sudah
dianjurkan oleh dokter sering kali suka diabaikan. Beberapa responden yang
mengabaikan diet makan karena jenuh dengan program diet, ingin merasakan makan
enak. Akibatnya pada saat mereka diperiksa kadar glukosa darahnya diatas 200
mg/dl bahkan sampai ada yang mencapai
500 mg/dl.
Tidak hanya itu kesibukan sehari-hari pun sudah
menjadi alasan mereka mengabaikan minum obat, bahkan ada yang mengatakan bahwa
mereka hanya minum obat pada saat mau ada pemeriksaan saja sehingga hasil
pemeriksaan gula darah selalu bagus. Sedangkan 3 orang responden diantaranya
minum obat dengan teratur, karena dalam menjalani pengobatan penyakit yang diderita
akan selalu terpantau/terkontrol, dan mereka mengatakan sudah lama menjalani
pengobatan sehingga mereka sudah terbiasa dalam mengkonsumsi obat, dan merasa
punya tanggung jawab terhadap kelangsungan hidupnya.
Peneliti juga mewawancarai bagian pengurus Persadia,
mereka mengatakan upaya yang sedang dilakukan di Persadia setiap minggunya
adalah dengan melakukan senam pagi di hari kamis, dan setiap dua bulan sekali
rutin dilakukan pemeriksaan kadar gula darah dan penyuluhan dengan berbada-beda
tema setiap pertemuannya, termasuk diantaranya tentang manfaat dan pentingnya
dalam minum obat.
Masih banyaknya penderita DM yang tidak patuh dalam
minum obat akan berdampak terjadinya hipoglikemi atau hiperglikemi,
ketoasidosis (tubuh sangat kekurangan insuilin). Hal tersebut akan muncul
beberapa komplikasi seperti serangan jantung, gangguan fungsi ginjal, gangguan
saraf, kelainan mata, mulut, sampai terjadi koma.
Berdasarkan
fenomena tersebut, peneliti tertarik untuk mengidentifikasi kepatuhan atau
ketidakpatuhan responden dalam minum obat. Dari uraian diatas, peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Motivasi
dengan Kepatuhan Minum Obat pada Pasien DM Tipe II di Persadia RS
Dustira”.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian lain adalah waktu dan tempat penelitian, serta jumlah sampelnya lebih banyak. Desain
penelitiannya menggunakan metode penelitian survey analitik.
Comments