Laporan Pendahuluan Diabetes Melitus
A.
Diabetes Melitus
1. Definisi
Diabetes mellitus merupakan kondisi kronis yang ditandai dengan peningkatan konsentrasi glukosa
darah disertai munculnya gejala utama yang khas, yakni urine yang berasa manis
dalam jumlah yang besar (Bilous & Donelly, 2015).
Menurut Maulana 2008, DM merupakan penyakit kelainan metabolisme yang
disebabkan kurangnya hormon
insulin.
Menurut American diabetes association (ADA) 2005, DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia, yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau keduanya
(Soegondo. Et. al. 2009)
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan kelainan heterogen ditandai oleh kenaikan kadar gula dalam darah atau hiperglikemia, terjadi karena sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya.
2. Klasifikasi
Diabetes Melitus
Shahab (2009) mengatakan bahwa klasifikasi
diabetes mellitus menurut PERKENI (perkumpulan endokrinologi Indonesia) sesuai anjuran klasifikasi DM menurut American diabetes association (ADA, 2003 dalam
Soegondo, 2009) adalah :
a.
Diabetes
tipe I (destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut):
1)
Autoimun
2)
Idiopatik
(tidak diketahui penyebabnya)
b.
Diabetes mellitus tipe II (bervariasi mulai
dari yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai
yang terutama defek sekresi insulin disertai resistensi insulin)
c.
Diabetes mellitus tipe lain :
1)
Defek
genetic fungsi sel beta yaitu maturity onset diabetes of the young (MODY)
diantaranya kromosom 12, HNF-1 alfa (MODY 3), kromosom 7, glikokinase (MODY 2),
kromosom 20, HNF-4alfa (MODY 1) dan DNA mitokondria
2)
Defek
genetic kerja insulin
3)
Penyakit
endokrin pankreas yaitu pankreatitis, trauma pancreas/pankreaktomi,
neoplasma, cystic fibrosis hemochromatosis dan pankreatopati fibrokalkulus
4)
Endokrinologi
yaitu akromegali, sindrom cushing, feokromositoma, dan hipertiroidisme
5)
Karena
obat atau zat kimia yaitu : vacor, pentamidin,
asam nikotimat, glukokortikoid, hormone tiroid, tiazid, Dilantin, interferon,
alfa.
6)
Infeksi
: rubella kongenital, cytomegalo virus (CMV)
7)
Sebab
imunologi yang jarang : antibodi anti reseptor insulin.
8)
Sindrom
genetic yang berkaitan dengan DM: sindrom down, kleinfelter, turner, Huntington
chorea, sindrom prader willi.
d.
Diabetes
Mellitus Gestasional (kehamilan).
3. Diagnosis
diabetes mellitus
Diagnosis DM ini umumnya dengan adanya
gejala khas seperti adanya poliuri, polidipsi, lemas dan berat badan turun.
Gejala lain yang mungkin dirasakan adalah kesemutan, gatal, mata kabur, dan
impotensia pada pria serta pruritus pada pasien wanita. Jika ada keluhan dan gejala khas juga
ditemukannya glukosa darah sewaktu yang ≥ 200 mg/dl sudah cukup untuk diagnosis klinis
DM. Hasil
pemeriksaan KGD puasa ≥ 126 mg/dl digunakan untuk patokan diagnosis DM
(Soegondo dkk, 2009).
Pemeriksaan penyaring
Pemeriksaan
penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah satu resiko DM sebagai berikut
:
a.
Usia >45 tahun
b.
Berat badan lebih : BBR > 110% BB idaman atau IMT
>23 kg/m2
c.
Hipertensi (>140/90 mmHg)
d.
Riwayat DM dalam garis keturunan
e.
Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau
BB lahir bayi 4000 gram
f.
Kolestrol HDL ≤ 35 mg/dl dan atau trigliserida ≥ 250
mg/dl.
Tabel 2.1 kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan
penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)
|
|
Bukan DM
|
Belum pasti DM
|
DM
|
KGD sewaktu (mg/dl)
|
Plasma vena
|
<110
|
110 – 199
|
≥ 200
|
|
Darah kapiler
|
< 90
|
90 – 199
|
≥ 200
|
KGD puasa (mg/dl)
|
Plasma vena
|
< 110
|
110 - 125
|
≥126
|
|
Darah kapiler
|
<90
|
90 - 109
|
≥ 110
|
Konsensus
pengelolaan DM tipe 2 di Indonesia, PERKENI 2002 dalam Soegondo, (2009)
4. Etiologi
Mekanisme yang
menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe
2 masih belum diketahui. Faktor genetik diperkirakan memegang peranan dalam
proses terjadinya resistensi insulin. Selain itu terdapat pula faktor-faktor
resiko tertentu yang berhubungan dengan proses terjadinya diabetes tipe 2.
Faktor-faktor ini adalah:
a.
Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia
diatas 65 tahun).
b.
Obesitas
c.
Riwayat keluarga
d.
Kelompok etnik (di Amerika Serikat, golongan Hispanik
serta penduduk asli Amerika tertentu memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk
terjadinya diabetes tipe 2 dibanding dengan kandengan golongan Afro-Amerika).
Maulana, 2008, menyebutkan DM disebabkan karena berkurangnya
produksi dan ketersediaan insulin dalam tubuh atau terjadinya gangguan fungsi
insulin yang sebenarnya berjumlah cukup. Kekurangan insulin disebabkan adanya
kerusakan sebagian kecil atau sebagian besar sel-sel beta pulau Langerhans
dalam kelenjar pancreas yang berfungsi menghasilkan insulin. Beberapa faktor
yang menyebabkan DM sebagai berikut :
a. Genetik
atau faktor keturunan
b. Virus
dan bakteri
c. Bahan
toksik atau beracun
d. Nutrisi
e. Kadar
kortikosteroid yang tinggi
f. Kehamilan
diabetes gestasional, yang akan hilang setelah melahirkan
g. Obat-obatan
yang dapat merusak pancreas
h. Racun
yang mempengaruhi pembentukan atau efek dari insulin.
5. Patofisiologi
Pada diabetes
mellitus tipe II jumlah insulin normal, malah mungkin lebih banyak tetapi
jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang. Reseptor
insulin ini dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk kedalam sel.
Pada keadaan tadi jumlah lubang kuncinya yang kurang, hingga meskipun anak
kuncinya (insulin) banyak, tetapi karena lubang kuncinya (reseptor) kurang,
maka glukosa yang masuk sel akan sedikit, sehingga sel akan kekurangan bahan
bakar (glukosa) dan glukosa di dalam pembuluh darah meningkat. Dengan demikian
pada keadaan ini sama dengan pada DM tipe I. perbedaannya adalah DM tipe II
disamping kadar glukosa darah yang tinggi, juga kadar insulin tinggi atau
normal. Keadaan ini disebut resistensi insulin.
Penyebab
resistensi insulin pada DM tipe II sebenarnya tidak begitu jelas, tetapi faktor-faktor
dibawah ini berperan:
a.
Obesitas terutama yang bersifat sentral (bentuk apel)
b.
Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
c.
Kurang gerak badan
d.
Faktor keturunan (herediter).
Pada DM tipe II jumlah sel beta berkurang 50-60% dari
normal. Jumlah sel alfa meningkat. Yang menyolok adalah peningkatan jumlah
jaringn amiloid pada sel beta yang disebut amilin. Baik pada DM tipe 1 atau DM
tipe 2 kadar glukosa darah jelas meningkat dan bila kadar itu melewati batas
ambang ginjal, maka glukosa itu akan keluar melalui urin. Mungkin inilah
sebabnya penyakit ini disebut penyakit kencing manis (Suyono dkk, 2009).
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah
terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin
yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini
terjadi akibat resistensi insulin yang berlebihan, dan kadar glukosa akan
dipertahankan pada tingkat yang normal atau meningkat. Namun demikian, jika
sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka
kadar glukosa akan meningkatkan terjadi diabetes tipe II.
Diabetes tipe II sering terjadi pada penderita
diabetes yang berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas. Akibat intoleransi
glukosa yang berlangsung lambat (selama bertahun-tahun) dan progresif, maka
awitan diabetes tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dapat
dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan dan dapat mencakup
kelelahan, iritabilitas, polidipsia, luka pada kulit yang lama sembuh, infeksi
vagina atau pandangan yang kabur (jika kadar glukosanya sangat tinggi).
Penanganan primer diabetes tipe II adalah dengan
menurunkan berat badan, karena resistensi insulin berkaitan dengan obesitas. Latihan
merupakan unsure yang paling penting pula untuk meningkatkan efektifitas
insulin. Obat hipoglikemia oral dapat ditambahkan jika diet dan latihan tidak
berhasil mengendalikan kadar glukosa darah. jika penggunaan obat oral dengan
doisis maksimal tidak berhasil menurunkan kadar glukosa hingga tingkat yang
memuaskan, maka insulin dapat digunakan. Sebagaian pasien memerlukan insulin
untuk sementara waktu selama periode stress fisiologik yang akut, seperti
selama sakit atau pembedahan.
6. Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe II
Dalam mengelola
diabetes mellitus untuk jangka pendek tujuannya adalah menghilangkan
keluhan/gejala DM dan merasakan rasa nyaman dan sehat. Untuk jangka panjang,
tujuannya lebih jauh lagi, yaitu mencegah penyulit, baik makroangiopati,
mikroangiopati, maupun neuropati, deengan tujuan akhir menurunkan morbiditas
dan mortalitas DM.
Dalam mengelola
diabetes mellitus langkah pertama yang harus dilakukan adalah pengelolaan
farmakologis, berupa perencanaan makan dan kegiatan jasmani. Baru kemudian
kalau dengan langkah-langkah tersebut sasaran pengendalian diabetes mellitus
yang ditentukan belum tercapai, dilanjutkan dengan langkah berikut, yaitu
pengguanaan obat/pengelolaan farmakologis. Pada kebanyakan kasus, umumnya dapat
diterapkan langkah seperti tersebut diatas. Pada kegawatan tertentu
(ketoasidosis, diabetes dengan infeksi, stress), pengelolaan farmakologis dapat
langsung diberikan, umumnya berupa suntikan insulin. Tentu saja dengan tidak
melupakan pengelolaan non-farmakologis. Umumnya pada keadaan seperti di atas,
pasien memerlukan perawatan di rumah sakit.
Pilar utama
pengelolaan DM diantaranya perencanaan makan, latihan jasmani, obat berkhasiat
hipoglikemik, dan penyuluhan. (Waspadji dkk, 2009)
a. Perencanaan
makan
Standar yang
dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat,
protein, dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut:
Karbohidrat 60-70%
Protein 10-15%
Lemak 20-25%
Jumlah kalori
disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut dan kegiatan
jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan idaman.
Untuk mencapai
status gizi, dipakai body mass index (BMI)
= indek masa tubuh (IMT).
BMI = IMT = BB(kg)
{TB(m)}2
Klasifikasi IMT : -
Berat badan kurang <
18,5
-
Berat basan normal 18,5-22,9
-
Berat badan lebih ≥
23,0
Dengan resiko 23,0-24,9
Obes I 25,0-29,9
Obes II ≥
30,0
Untuk kepentingan klinis praktis, dan untuk penentuan
jumlah kalori dipakai rumus Broca yaitu :
= BB idaman
= (TB – 100) – 10%
Berat badan kurang =
< 90% BB idaman
Berat badan normal =
90-110% BB idaman
Berat badan lebih =
110-120% BB idaman
Gemuk =
>120% BB idaman
Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari berat badan
idaman dikali kebutuhan kalori basal (30 Kkal / kg BB untuk laki-laki dan 25
Kkal/BB untuk wanita). Kemudian ditambah keutuhan kalori untuk aktifitas
(10-30%, untuk atlet dan pekerja berat dapat lebih banyak lagi, sesuai dengan
kalori yang dikeluarkan dalam kegiatannya), koreksi status gizi (gemuk
dikurangi, kurus ditambah) dan kalori yang diperlukan untuk menghadapi stress
akut (infeksi dsb) sesuai dengan kebutuhan. Untuk masa pertumbuhan (anak dan
dewasa muda) serta ibu hamil, diperlukan perhitungan tersendiri.
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi
tersebut diatas di bagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%)
dan sore (25%) serta 2-3 porsi (makanan ringan, 10-15%) diantaranya. Pembagian
porsi tersebut sejauh mungkin disesuaikan dengan kebiasaan pasien untuk
kepatuhan pengaturan makan yang baik. Untuk pasien DM yang mengidap pula
penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya.
Perlu diingatkan bahwa pengaturan makan pasien DM tidak berbeda dengan orang normal,
kecuali jumlah kalori dan waktu makan yang terjadwal. Untuk kelompok sosial
ekonomi rendah, makanan dengan komposisi karbohidrat sampai 70-75% juga
memberikan hasil yang baik.
Jumlah kandungan kolesterol < 300 mg/hari.
Diusahakan lemak dari sumber asam lemak tidak jenuh dan menghindari asam lemak jenuh. Jumlah
kandungsan serat ± 25 g/hari, di utamakan serat larut, garam secukupnya. Pasien
DM dengan tekanan darah normal masih diperbpolehkan mengkonsumsi garam seperti
orang sehat, kecuali yang mengalami hipertensi, harus mengurangi konsumsi
garam. Pemanis buatan dapat dipakai secukupnya, gula sebagai bumbu masakan
tetap diizinkan, pada keadaan kadar gula darah terkendali masih diperbolehkan
untuk mengkonsumsi sukrosa (gula pasir) sampai 5% kalori.
Pada dasarnya perencanaan makan pada pasien DM tidak
berbeda dengan perencanaan makanan pada orang normal. Untuk mendapatkan
kepatuhan terhadap pengaturan makan yang baik, adanya pengetahuan mengenai
bahan penukar akan sangat membantu pasien.
b. Latihan
jasmani
Dianjurkan
latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih 30
menit, yang sifatnya sesuai CRIPE (continous
rhythmical, interval, progressif, endurance training). Sedapat mungkin
mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal (220-umur), disesuaikan
dengan kemampuan dan kondisi penyakit penyerta.
Sebagai contoh
olah raga ringan adalah berjalan kaki biasa selama 30 menit, olah raga sedang
adalah berjalan cepat selama 20 menit dan olah raga berat misalnya jogging.
c. Obat
berhasiat hipoglikemik
Prinsip pengobatan Diabetes Melitus
Tipe 2
Pengobatan
dengan perencanaan makanan (diet) atau terapi nitrisi medik masih merupakan
pengobatan utama, tetapi bilamana latihan
fisik ternyata gagal, maka diperlukan penambah obat oral atau insulin. Penurunan
berat badan dan latihan jasmani akan mempunyai dampak terapeutik. Sayangnya bnyak
orang penderita DM masih banyak yang tidak patuh dalam mengkonsumsi obat karena
kurang motivasi atau disiplin untuk mengikuti program yang ketat yang diberikan
oleh dokter.
Prinsip 6 (enam)
benar dalam pemberian obat
1) Benar
Pasien
Sebelum obat diberikan, identitas pasien harus diperiksa
(papan identitas di tempat tidur, gelang identitas) atau ditanyakan langsung
kepada pasien atau keluarganya. Jika pasien tidak sanggup berespon secara
verbal, respon non verbal dapat dipakai, misalnya pasien mengangguk. Jika
pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat gangguan mental atau
kesadaran, harus dicari cara identifikasi yang lain seperti menanyakan langsung
kepada keluarganya. Bayi harus selalu diidentifikasi dari gelang identitasnya.
2) Benar
Obat
Obat memiliki nama dagang dan nama generik. Setiap obat
dengan nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa
nama generiknya, bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama generiknya
atau kandungan obat. Sebelum memberi obat kepada pasien, label pada botol atau
kemasannya harus diperiksa tiga kali. Pertama saat membaca permintaan obat dan
botolnya diambil dari rak obat, kedua label botol dibandingkan dengan obat yang
diminta, ketiga saat dikembalikan ke rak obat. Jika labelnya tidak terbaca,
isinya tidak boleh dipakai dan harus dikembalikan ke bagian farmasi.
Jika
pasien meragukan obatnya, perawat harus memeriksanya lagi. Saat memberi obat
perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan. Ini membantu mengingat nama obat
dan kerjanya.
3) Benar
Dosis
Sebelum memberi obat, perawat harus memeriksa dosisnya. Jika
ragu, perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau
apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien. Jika pasien meragukan dosisnya perawat
harus memeriksanya lagi. Ada beberapa obat baik ampul maupun tablet memiliki
dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya. Misalnya ondansentron 1 amp,
dosisnya berapa? Ini penting !! karena 1 amp ondansentron dosisnya ada 4 mg,
ada juga 8 mg. ada antibiotik 1 vial dosisnya 1 gr, ada juga 1 vial 500 mg.
jadi Anda harus tetap hati-hati dan teliti.
4) Benar
Cara/Rute
Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda.
Faktor yang menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum
pasien, kecepatan respon yang diinginkan, sifat kimiawi dan fisik obat, serta
tempat kerja yang diinginkan. Obat dapat diberikan peroral, sublingual,
parenteral, topikal, rektal, inhalasi.
a)
Oral, adalah rute pemberian yang paling
umum dan paling banyak dipakai, karena ekonomis, paling nyaman dan aman. Obat
dapat juga diabsorpsi melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti
tablet ISDN.
b)
Parenteral, kata ini berasal dari bahasa Yunani,
para berarti disamping, enteron berarti usus, jadi parenteral berarti diluar
usus, atau tidak melalui saluran cerna, yaitu melalui vena (perset / perinfus).
c)
Topikal, yaitu pemberian obat melalui kulit
atau membran mukosa. Misalnya salep, losion, krim, spray, tetes mata.
d)
Rektal, obat dapat diberi melalui rute rektal
berupa enema atau supositoria yang akan mencair pada suhu badan. Pemberian
rektal dilakukan untuk memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax
supp), hemoroid (anusol), pasien yang tidak sadar / kejang (stesolid supp).
Pemberian obat perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian
obat dalam bentuk oral, namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam
bentuk supositoria.
e)
Inhalasi, yaitu pemberian obat melalui saluran
pernafasan. Saluran nafas memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas,
dengan demikian berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya,
misalnya salbotamol (ventolin), combivent, berotek untuk asma, atau dalam
keadaan darurat misalnya terapi oksigen.
5) Benar
Waktu
Ini sangat penting, khususnya bagi obat yang efektivitasnya
tergantung untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai. Jika
obat harus diminum sebelum makan, untuk memperoleh kadar yang diperlukan, harus
diberi satu jam sebelum makan. Ingat dalam pemberian antibiotik yang tidak
boleh diberikan bersama susu karena susu dapat mengikat sebagian besar obat itu
sebelum dapat diserap. Ada obat yang harus diminum setelah makan, untuk
menghindari iritasi yang berlebihan pada lambung misalnya asam mefenamat.
6) Benar
Dokumentasi
Setelah obat itu
diberikan, harus didokumentasikan, dosis, rute, waktu dan oleh siapa obat itu
diberikan. Bila pasien menolak meminum obatnya, atau obat itu tidak dapat
diminum, harus dicatat alasannya dan dilaporkan.
http://yoedhasflyingdutchman.blogspot.com/2010/04/prinsip-6-enam-benar-dalam-pemberian.html di akses pada tanggal 30 april 2015
Pengelolaan Farmakologis
Karena
resistensi pada DM tipe 2 dalam praktek sehari-hari sukar dinilai, maka dilakukan
secara empiris. Yaitu bila seorang tidak dapat dilakukan dalam satu suntikan
per hari maka ditambahkan suntikan kedua sore hari seterusnya (Soegondo dkk,2009).
Sarana pengelolaan farmakologis
diabetes dapat berupa:
1) Obat
Hipoglikemik Oral
a) Pemicu
sekresi insulin
Sulfonylurea
Glinid
b) Penambah
sensivitas terhadap insulin
Biguanid
Tiazolidindion
c) Penghambat
glukosidase alfa/acarbose
Acarbose
merupakan suatu penghambat enzim alfa glukosidase yang terletak pada dinding usus halus. Enzim
alfa glukosidase adalah maltase, isomaltase, glkomaltase dan sukrase berfungsi
untuk hidrolisis oligosakarida, trisakarida dan disakarida pada dinding usus
halus.
Obat ini
biasanya diberikan dengan dosis 150-600 mg/hari. Obat ini efektif bagi pasien
dengan diet tinggi karbohidrat dan kadar glukosa plasma puasa kurang dari 180
mg/dl. Efek samping obat ini adalah perut kurang enak, lebih banyak flatus, dan
kadang-kadang diare, yang akan berkrang setelah pengobatan lebih lama.
Hal yang harus diperhatikan dalam memilih obat
hipoglikemik oral menurut Soegondo dkk, (2009).
(1). Dosis selalu dimulai dengan dosis rendah yang
kemudian dinaikan secara bertahap
(2) Harus diketahui betul bagaimana kerja, lama kerja,
dan efek samping obat-obat tersebu.
(3) Bila memberikannya bersama obat lain, pikirkan
kemungkinan adanya interaksi obat.
(4) Pada kegagalan sekunder obat hipoglikemik orak,
usahakan menggunakan obat oral golongan lain, baru beralih kepada insulin.
(5) Usahakan agar harga obat terjangkau oleh orang
dengan diabetes.
Table
2.2 obat hipoglikemik oral di Indonesia
Nama generic
|
Merek dagang
|
Dosis harian (mg)
|
Dosis awal (mg)
|
Lama kerja (jam)
|
Frekuensi pemberian
|
1.
Sulfonilurea :
Khlorpropamid
(100-259 mg)
Tolbutamid (500)
Glibenclamid
(2,5-5 mg)
Glipizid (5-10 mg)
Gliclazid
(80 mg)
Glicuidon (30 mg)
Glimepirid (1,2,3,4, mg)
|
Diabinese
Rastinon
Daonil
Euglucon
Renabetic
Prodiabet
Minidiab
Glucotrol XL
Diamicron MR (30 mg)
Pedab
Glikamel
Glicab
glucodex
Glurenorrn
Amaryl
Amadiab
Gluves
Metrix
|
100-500
500-2000
2,5-5
5-20
30-120
80-240
30-120
6
|
-
-
-
5
30
80
30
1
|
24-36
6-12
12-24
10-16
24
10-20
-
-
|
1
2-3
1-2
1-2
1
1-3
1-3
1
|
2.
Glinid :
Repaglinide (0,5mg,1mg, 2mg)
Nataglinid
(120 mg)
|
Novonorm
Starlix
|
6
360
|
0,5
-
|
-
-
|
1-3
3
|
3.
Gol. Biguanid :
Metformin
(500-850 mg)
|
Glucophage
Diabex
Neodipar
|
250-3000
|
-
|
6-8
|
1-3
|
4.
Gol. Tiazolindion/glitazon :
Pioglitazon (15-30 mg)
|
Actos
|
15-30
|
15
|
24
|
1
|
5.
Gol. Penghambat alfa glukosidase:
Acarbose
(50-100 mg)
|
Glucobay
|
50-300
|
|
|
1-3
|
6.
Kombinasi :
Metformin dengan glibenklamid (250/1,25mg, 500/2,5mg)
|
Glucovance
|
250/1,25-1000/5
|
250/1,25
|
6-24
|
1-4
|
Sumber :Konsensus pengelolaan DM di Indonesia 2006,
dalamSoegondo dkk, (2009).
Indikasi
pemakaian obat hipoglikemik oral:
1.
Diabetes sesudah umur 40 tahun
2.
Diabetes kurang dari 5 tahun
3.
Memerlukan insulin dengan dosis kurang dari 40 unit
sehari
4.
DM tipe 2, berat normal atau lebih
2) Insulin
Secara
keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM tipe II kemudian akan memerlukan untuk
mengendalikan kadar glukosa darahnya.
Untuk pasien yang sudah tidak dapat
dikendalikan kadar glkosa darahnya dengan kombinasi sulfonylurea dan metmorfin,
langkah berikut yang mungkin diberikan adalah insulin.
Disamping
pemberian insulin secara konvensional 3 kali sehari dengan memakai insulin
kerja cepat, insulin dapat pula diberikan dengan dosis terbagi insulin kerja
mencegah dua kali sehari dan kemudian diberikan campuran insulin kerja cepat
dimana perlu sesuai dengan respon kadar glukosa darahnya. Umumnya dapat juga
pasien langsung diberikan insulin campuran kerja cepat dan mencegah dua
kali sehari.
Kombinasi
insulin kerja sedang yang diberikan malam hari sebelum tidur dengan
sulfonylurea tampaknya memberikan hasil yang lebih baik dari pada dengan
insulin saja, baik satu kali maupun dengan insulin campuran. Keuntungannya
pasien tidak harus dirawat dan keptuhan pasien tentu lebih besar.
Kriteria pengendalian (Waspadji dkk,
2009).
Tabel:
2.3 kriteria pengendalian DM.
Baik sedang buruk
Glukosa
darah puasa (mg/dl) 80-109 110-125 ≥126
Glukosa
darah 2 jam (mg/dl) 110-114 145-179 ≥180
AIC
(%) <6,5 6,5-8 ≥180
Kolestrol
total (mg/dl) <200 200-239 240
Kolestrol
LDL (mg/dl) <100 100-129 ≥130
Kolestrol
HDL (mg/dl) >45
Trigliserida
(mg/dl) <150 150-199 ≥200
IMT
(kg/m2) 18,5-22,9 23-25 ≥25
Tekanan darah (mmHg) <130/80 130-140/80-90 >140/90
Sumber : Waspadji, 2009 kriteria pengendalian DM.
Untuk pasien berumur .> 60 tahun, sasaran kadar
gula darah lebih dari tinggi dari pada biasa (puasa < 150 mg/dl dan sesudah
makan < 200 mg/dl), demikian pula kadar lipid, tekanan darah, dll mengacu
pada batasan kriteria pengendalian sedang. Hal ini dilakukan mengingan
sifat-sifat khusus pasien usia lanjut dan juga untuk mencegah kemungkinan
timbulnya efek samping dan interaksi obat (Waspadji, 2009).
d. Penyuluhan.
Penyuluhan untuk
rencana pengelolaan sangat penting untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Edukasi diabetes adalah pendidikan dan pelatihan mengenai pengetahuan dan
keterampilan bagi pasien diabetes yang bertjuan menunjang perubahan perilaku
untuk meningkatkan pemahaman pasien akan penyakitnya, yang dierlukan untuk
mencapai keadaan sehat optimal, dan penyesuaian keadaan psikologik serta
kualitas hidup yang lebih baik. Edukasi merupakan bagian integral dari asuhan
perawatan pasien diabetes. Dengan derbagai macam usaha tersebut, diharapakan
sasaran pengendalian diabetes mellitus seperti yang dianjurkan oleh pakar
diabetes di Indonesia dapai dicapai, sehingga pada gilirannya nanti komplikasi
kronik diabetes mellitus juga dapat di cegah dan pasien diabetes mellitus dapat
hidup berbahagia bersama diabetes yang diidapnya (Waspadji dkk, 2009).
7. Komplikasi diabetes
a. Komplikasi
akut
Komplikas akut
terjadi jika kadar glukosa darah seseorang meningkat atau menurun dengan tajam
dalam waktu yang relatif singkat. Kadar glukosa darah bisa menurun drastis jika
penderita menjalani diet yang terlalu ketat. Perubahan besar dan mendadak dapat
berakibat fatal.
Dalam komplikasi akut dikenal
beberapa istilah sebagai berikut:
1) Hipoglikemia
yaitu keadaan seseorang dengan kadar glukosa darah dibawah nilai normal. Gejala
hipoglikemia ditandai dengan munculnya rasa lapar, gemetar, mengeluarkan
keringat, berdebar-debar, pusing, gelisah, dan penderita bias nmenjadi koma.
2) Ketoasidosis
diabetik-koma diabetic yang diartikan sebagai keadaan tubuh yang sangat
kekurangan insulin dan bersifat mendadak akibat infeksi, lupa suntik insulin,
pola makan yang terlalu bebas, atau stress.
3) Koma
hiperosmoler non ketotik yang diakibatkan adanya dehidrasi berat, hipotensi,
dan shock. Karena itu, koma hiperosmoler non ketotik diartikan sebagai keadaan
tubuh tanpa penimbunan lemak yang menyebabkan penderita menunjukkan pernapasan
yang cepat dan dalam (kusmaul).
4) Koma
lakto asidosis yang diartikan sebagai keadaan tubuh dengan asam laktat yang
tidak dapat diubah menjadi bikarbonat. Akibatnya, kadar asam laktat dalam darah meningkat dan seseorang bias
mengalami koma.
b. Komplikasi
kronik
Komplikasi kronik
diartikan sebagai kelainan pembuluh darah yang akhirnya bisa menyebabkan
serangan jantung, gangguan fungsi ginjal, dan gangguan saraf. Komplikasi kronik
sering dibedakan berdasarkan bagian tuibuh yang mengalami kelainan, seperti
kelainan di bagian mata, mulut, jantung, urogenital, saraf, dan kulit (Maulana,
2008).
c. Komplikasi
tidak patuh minum obat
Ketidakpatuhan penderita DM terhadap terapi yang
sedang dijalaninya akan berdampak tejadinya hipoglikemik atau hiperglikemik,
ketoasidosis (tubuh sangat kekurangan insulin). Hal tersebut akan muncul
bebrapa komplikasi seperti serangan jantung, gangguan fungsi ginjal, gangguan
saraf, kelainan mata, mulut, sampai terjadinya koma.
Comments