Konsep Nyeri
A.
Nyeri
1.
Pengertian
Nyeri merupakan sensasi yang rumit,
unik, universal, dan bersifat individual. Dikatakan bersifat individual karena
respon individu terhadap sensasi nyeri beragam dan tidak bisa disamakan satu
dengan lainnya. Hal tersebut menjadi dasar bagi perawat dalam mengatasi nyeri
pada klien (Asmadi, 2008).
Nyeri adalah salah satu mekanisme pertahanan tubuh yang
menandakan adanya masalah, apabila tidak ditangani menyebabkan bahaya
fisiologis dan psikologis bagi kesehatan dan penyembuhannya (Kozier et all,2010).
Nyeri adalah suatu kondisi yang lebih dari sekedar
sensasi tunggal yang disebabkan oleh stimulus tertentu (Perry & Potter,
2010). Nyeri merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan yang hanya dapat diungkapkan berbeda antar satu
orang dengan yang lainnya (Prasetyo, 2010).
Nyeri pada artritis rheumatoid
disebabkan oleh inflamasi siskemik
kronis yang tidak diketahui penyebabnya, atau terjadinya kerusakan poliferasi
pada membran sinovia yang menyebabkan kerusakan pada tulang sendi, ankilosis
dan deformitas. Mekanisme imunologis tampak berperan penting dalam memulai dan
timbulnya penyakit ini. Penyakit ini adalah salah satu dari sekelompok penyakit
jaringan penyambung difus yang diperantai oleh munitas ( Ningsi & Lukman,
2011).
Nyeri kronis pada lansia merupakan
masalah yang akan mempengaruhi aktifitas kegiatan sehari-hari dan kualitas
hidupnya. Nyeri kronis merupakan keadaan yang sangat menggangu dan menyebabkan
penyakit lain menjadi lebih parah. Sering pula terdapat lansia yang menganggap
nyeri merupakan tanda-tanda mendekatnya ajal, atau merupakan gejala yang lebih
serius, sehingga justru membuat lansia merasa takut (Darmojo & Martono
2004).
Dapat disimpulkan bahwa nyeri itu adalah suatu keadaan
dimana keadaan dimana individu mengalami
rasa tidak nyaman baik secara sensori maupun emosional yang berhubungan dengan
adanya suatu kerusakan jaringan atau faktor tertentu.
2.
Penyebab
Nyeri
Penyebab nyeri
dapat diklasifikasikan ke dalam dua golongan yaitu penyebab yang
berhubungan dengan fisik dan berhubungan dan psikis. Secara fisik misalnya,
Nyeri pada peradangan terjadi karena
kerusakan ujung-ujung saraf reseptor akibat adanya peradangan atau
terjepit oleh pembengkakan.
Secara
psikis, penyebab nyeri dapat terjadi oleh karena adanya psikologis ( Asmadi,
2008).
3.
Sifat
Nyeri
Nyeri sifatnya subjektif dan sangat bersifat individual.
Stimulus nyeri dapat berupa stimulus yang bersifat dan mental, sedangkan
kerusakan dapat terjadi pada jaringan aktual atau pada fungsi ego seorang
individu. Empat atribut pasti untuk pengalaman nyeri yaitu : nyeri bersifat
individu, tidak menyenangkan, merupakan suatu kekuatan yang mendominasi dan
bersifat tidak berkesudahan. Nyeri dapat mengganggu hubungan personal dan
mempengaruhi makna kehidupan. Hanya pasien yang mengetahui apakah terdapat
nyeri dan seperti apa nyeri tersebut. Untuk membantu seorang klien dalam menghilangkan nyeri, maka
perawat harus yakin dahulu bahwa nyeri tersebut memang ada (Perry & Potter,
2010)
4.
Tipe
Nyeri
Nyeri dapat digambarkan dalam hal durasi, lokasi atau
etiologinya. Saat nyeri hanya berlangsung selama periode pemulihan yang telah
diperkirakan, nyeri digambarkan sebagai nyeri akut, baik nyeri memiliki awalan
mendadak atau lambat tanpa memperhatikan intensitasnya. Disisi lain, nyeri
kronik berlangsung lama, biasanya bersifat kambuhan atau menetap selama 6 bulan
atau lebih, dan mengganggu fungsi tubuh. Nyeri akut dan kronik menyebabkan
respon fisiologis dan perilaku yang berbeda (Kozier, 2010).
Table 2.1
Perbandingan Nyeri akut dan Nyeri Kronik
Nyeri
Akut
|
Nyeri
Kronis
|
a.
Ringan sampai berat
|
a.
Ringan sampai berat
|
b.
Respon sistem saraf
|
b.
Respon sistem saraf
|
simpatik
:
|
parasimpatik:
|
1. Peningkatan denyut
|
1. tanda-tanda vital
|
Nadi
|
Normal
|
2. Peningkatan frekuensi
|
2. Kulit kering, hangat
|
Napas
|
3. Pupil normal atau
|
3. Peningkatan tekanan
|
Dilatasi
|
darah
|
c.
Terus berlanjut setelah
|
4. Diaphoresis (keringat
|
penyembuhan
|
berlebihan)
|
d.
Klien nampak depresi
|
5. Dilatasi pupil
|
dan
menarik diri
|
c.
Berhubungan dengan
|
e.
Klien sering kali tidak
|
cedera
jaringan :
|
menyebut
rasa nyeri
|
hilang
dengan penyembuhan
|
kecuali
ditanya. Perilaku
|
d.
Klien tampak gelisah
|
nyeri
sering kali tidak
|
dan
cemas
|
Muncul
|
(Perry & Potter,
2010)
5.
Klasifikasi
Nyeri
Nyeri dapat di klasifikasikan kedalam beberapa golongan
berdasarkan pada tempat, sifat, berat ringannya nyeri, dan waktu lamanya
serangan (Kozier, 2010) diantanya adalah nyeri berdasarkan tempatnya
diantaranya sebagai berikut:
1.
Pheriperal pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan
tubuh misalnya pada kulit, mukosa.
2.
Deep pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan
tubuh yang lebih dalam atau pada
organ-organ tubuh.
3.
Refered pain, yaitu nyeri dalam yang disebabkan karena
penyakit organ/struktur dalam tubuh yang ditransmisikan ke bagian tubuh di
daerah yang berbeda, bukan daerah asal nyeri.
4.
Central pain, yaitu nyeri yang terjadi karena
perangsangan pada sistem saraf pusat, spinal cord, batang otak, thalamus, dan lain-lain.
Nyeri
berdasarkan sifatnya (Tamsuri, 2012), diantaranya :
1.
Incidental pain, yaitu yang timbul sewaktu-waktu lalu
menghilang.
2.
Steady pain, yaitu nyeri timbul dan menetap serta
dirasakan dalam waktu yang lama.
3.
Paroxysmal pain, yaitu nyeri timbul dan menetap
serta berintensitas tinggi dan kuat
sekali. Nyeri tersebut biasanya menetap ± 10-20 menit, lalu menghilang,
kemudian timbul lagi.
Nyeri berdasarkan berat tingannya(Tamsuri, 2012),
diantaranya :
1.
Nyeri
ringan, yaitu nyeri dengan intensitas rendah.
2.
Nyeri
sedang, yaitu nyeri dengan intensitas reaksi.
3.
Nyeri
berat, yaitu nyeri dengan intensitas tinggi.
6.
Fisiologi
Nyeri
Secara umum dapat dijelaskan bahwa di
dalam tubuh manusiaterdapat dua macam transmitter impuls nyeri yang berfungsi
untuk yang menghantar sensasi yang lain seperti rasa dingin, hangat, sentuhan,
dan sebagainya. Reseptor berdiameter kecil (serabut A delta dan serabut C)
berfungsi untuk menstramisikan nyeri yang sifatnya kras dan reseptor ini biasanya berupa ujung
saraf bebas yang terdapat di seluruh permukaan kulit dan struktur tubuh yang
lebih dalam seperti tendon, fasia, dan tulang serta organ-organ intema.
Sedangkan transmitter yang berdiameter
besar (serabut A-beta) memiliki reseptor yang terdapat pada struktur permukaan
tubuh dan fungsinya selain menstransmisikan sensasi nyeri, juga lebih berfungsi
untuk menstransmisikan sensasi lain seperti sensasi getaran, sentuhan, sensasi
panas atau dingin, serta juga tekanan halus. Implus dari serabut A-beta
mempunyai sifat inhibitori (penghambat) yang ditransmisikan ke serabut C dan
A-delta (Tamsuri, 2007).
Nyeri tergantung dari kerja serat saraf
besar dan kecil yang keduanya berada dalam akar ganglion dorsalis menurut teori
gate control theory. Rangsangan
pada serat saraf besar akan meningkatkan aktivitas substansia gelatinosa yang
mengakibatkan tertutupnya pintu mekanisme sehingga aktivitas sel T terhambat
dan menyebabkan hantaran rangsangan ikut terhambat. Rangsangan serat besar
dapat langsung merangsang spinalis melalui serat eferen dan reaksinya
mempengaruhi aktivitas sel T. Rangsangan pada serat kecil akan menghambat
aktivitas substansia gelatinosa dan membuka pintu mekanisme, sehingga
merangsang aktivitas sel T yang selanjutnya akan menghantar rangsangan nyeri
(Hidayat, 2005).
Cara paling baik untuk memahami
pengalaman nyeri, akan membantu untuk menjelaskan tiga komponen fisiologis
berikut: resepsi, presepsi, dan reaksi(Perry & Potter, 2010).
a.
Resepsi
Semua kerusakan selular, yang disebabkan
oleh stimulus terminal mekanik, kimiawi, atau stimulus listrik menyebabkan
pelepasan stimulus substansi yang menghasilkan nyeri, pemaparan terhadap panas
atau dingin, tekanan, friksi dan zat-zat kimia menyebabkan pelepasan substansi
seperti histamin, bradikinin, dan kalium, yang bergabung dengan lokasi reseptor
di nosiseptor (reseptor yang berespon terhadap stimulus yang membahayakan)
untuk memulai transmisi neural, yang dikaitkan dengan nyeri. Karena terdapat
variasi dalam bentuk dan ukuran tubuh bervariasi(Perry & Potter, 2010).
Bagian tubuh tertentu pada individu yang
berada lebih atau kurang sensitif terhadap nyeri. Selalin itu, individu
memiliki kapasitas produksi substansi penghasil nyeri yang berbeda-beda, yang
dikendalikan oleh gen individu. Implus saraf yang dihasilkan oleh stimulus
nyeri, menyebar sepanjang serabut saraf perifer efferen. Dua tipe serabut saraf
perifer menginduksi stimulus nyeri: serabut A-delta yang bereliminasi dan
cepat, serabut C yang tidak bereliminasi dan berukuran sangat kecil serta
lambat. Serabut A mengirim sensasi tajam, terlokalisasi dan jelas yang
menglokasi sumber nyeri dan mendeteksi intensitas nyeri(Perry & Potter,
2010).
Serabut tersebut menghantarkan komponen
suatu cedera akut dengan segera. Serabut C menyampaikan implus terlokalisasi
buruk, viseral, dan terus menerus. Ketika serabut C dan serabut A-delta
mentransmisikan implus dari serabut saraf perifer, maka melepaskan mediator
biokimia yang mengaktifkan atau membuat peka pada respon nyeri. Misalnya kalium
dan prostagladin dilepaskan ketika sel-sel lokal mengalami kerusakan. Transmisi
stimulus nyeri berlanjut sepanjang serabut saraf aferen sampai transmisi
tersebut berakhir di bagian kornu
dorsalis medula spinalis(Perry & Potter, 2010).
Pada kornu dorsalis, neurotrasmitter,
seperti substansi P dilepaskan, sehingga menyebabkan suatu transmisi sinapsis
dari saraf perifer (sensori) ke saraf traktus spinotalamus. Hal ini
memungkinkan implus nyeri ditrasmisikan lebih jauh ke dalam sistem saraf pusat.
Stimulus nyeri berjalan melalui serabut saraf di traktus spinotalamus yang
menyebrangi sisi yang berlawanan dengan medula spinal. Implus nyeri kemudian
berjalan kearah medula spinalis, maka informasi ditransmisikan dengan cepat ke
pusat yang lebih tinggi di otak, termasuk pembentukan retikular, sistem limbik,
talamus, korteks sensori, konteks asosiasi(Perry & Potter, 2010).
Respon reflek protektif juga terjadi
dengan resepsi nyeri. Serabut A-delta mengirim implus sensori ke medula
spinalis, tempat sinaps dengan neuron motorik. Implus motorik menyebar melalui
serabut lengkung refleks bersama serabut eferen (motorik) kembali suatu otot
perifer dekat lokasi stimulasi. Kontraksi otot menyebabkan individu menarik
diri dari sumber nyeri sebagai usaha untuk melindungi diri. Resepsi nyeri
membutuhkan sistem saraf perifer dan medula spinalis yang utuh(Perry &
Potter, 2010).
Neuregulator atau substansi yang
mempengaruhi transmisi stimulus nyeri memegang peranan yang penting dalam suatu
pengalaman nyeri. Substansi ini ditemukan di lokasi nosiseptor, di terminal
saraf dalam kornu dorsalis pada medula spinalis. Neuregulator dibagi menjadi
dua kelompok yaitu neurotransmitter dan neuromodulator. Neurotransmitter,
seperti substansi P mengirim implus listrik melewati celah sinaps diantara dua
serabut saraf. Serabut saraf tersebut adalah serabut eksitator atau inhibitor.
Neuromodulator memodifikasi aktivitas neuron dan menyesuaikan atau
memvariasikan transmisi stimulus nyeri tanpa secara langsung mentaransfer tanda
saraf melalui sinaps(Perry & Potter, 2010).
Neuromodulator diyakini tidak bekerja secara langsung, yakni dengan
meningkatkan dan menurunkan efek neruotransmitter tertentu. Teori pengontrolan
nyeri (Gate control) bahwa implus
nyeri dapat diatur atau bahkan dihambat oleh mekanisme pertahanan dapat
ditemukan di sel-sel geltosa substansi di dalam kornus dorsalis pada medula
spinalis, talamus dan sistem limbik. Dengan memahami hal-hal yang dapat
memepengaruhi pertahanan ini, maka dapat memperoleh konsep kerangka kerja yang
bermanfaat untuk penanganan nyeri (Perry & Potter, 2010).
Tabel 2.2 Neurofisiologi Nyeri
Neuroregulator
Neurotransmitter
|
Neuromodulator
|
a. Substansi P
|
a. Endophrin dan
Dinorfin
|
1. Terdapat di neuron
di
|
1. Merupakan suplai
alamiah
|
kornu dorsalis
|
tubuh yang berupa
substansi
|
(peptideksitator)
|
seperti morfin
|
2. Dibutuhkan untuk
|
2. Diaktifkan oleh
stress dan
|
mentransmisi implus
|
Nyeri
|
nyeri dari perifer ke
|
3. Dilokalisasi di
dalam otak,
|
pusat otak yang lebih
tinggi
|
medula spinalis dan
saluran
|
3. Menyebabkan
vasodilatasi
|
pencernaan.
|
dan edema
|
4. Memberikan efek
analgesia
|
b. Seretonin
|
apabila agens ini
menyatu
|
1. Dilepas dari batang
otak
|
dengan reseptor opiat
di otak
|
dan kornu dorsalis
untuk
|
5. Terdapat dalam
kadar yang
|
menghambat transmisi
nyeri
|
lebih tinggi pada
individu yang
|
c. Prostagladin
|
tidak terlalu merasa
nyeri
|
1. Dihasilakan dari
|
dibandingkan yang lain
dengan
|
pemecahan fosfolipid
|
cedera yang sama
|
dalam membran sel
|
b. Bradikardi
|
2. Diyakini
mengingkatkan
|
1. Dilepaskan dari
plasma yang
|
sensitivitas nyeri.
|
keluar dari pembuluh
darah
|
di jaringan sekitar
pada lokasi
|
|
cedera jaringan.
|
|
2. Terikat pada
resptor pada
|
|
saraf perifer,
meningkatkan
|
|
stimulus nyeri.
|
|
3. Terikat pada
sel-sel yang
|
|
menyebabkan reaksi
rantai yang
|
|
menghasilkan
prostalgladin.
|
|
|
|
Perry & Potter,
2010
|
Teori ini mengatakan implus nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan
dibuka dari implus dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Suatu keseimbangan
aktivitas dan neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur
proses pertahanan. Neuron A-delta dan C melepaskan substansi P untuk
mentransmisi implus melalui mekanisme
pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron A-beta yang
lebih tebal, yang lebih cepat melepaskan neurontrasmitter penghambat. Apabila
memasukan yang dominan berasal dari A-beta, maka akan menutup mekanisme
pertahanan (Perry & Potter, 2010).
Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoresptor. Apabila masukan
yang dominan berasal dari serabut A-delta dan serabut C, maka akan membuka
pertahanan tersebut dan pasien mempresepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika implus
nyeri dihantar ke otak, terdapat pusat konteks yang lebih tinggi di otak yang
memodifikasi presepsi nyeri. Alur saraf desenden melepas opiat endogen, seperti
endorfin dan dinorfin, suatu pembuluh nyeri alami yang berasal dari tubuh.
Neuromodulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan
substansi P (Perry & Potter, 2010).
b.
Presepsi
Presepsi merupakan titik kesadaran
kesadaran terhadap nyeri. Stimulus nyeri ditransmisikan naik ke medula spinalis
ke talamus dan otak tengah. Dari talamus, serabut mentransmisikan pesan nyeri
ke berbagai otak, termasuk korteks sensori dan kontak asosiasi. Terdapat
sel-sel di dalam sistem limbik yang diyakini mengontrol emosi, khususnya untuk
ansietas. Dengan demikian, sistem limbik berperan aktif dalam memproses reaksi
emosi terhadap nyeri, setelah transmisi saraf berakhir di dalam pusat otak yang
lebih tinggi, maka individu akan mempresepsikan sensasi nyeri (Perry &
Potter, 2010).
c.
Reaksi
1)
Reseptor
fisiologis
Pada saat implus nyeri naik medula spinalis menuju ke batang otak dan talamus,
sistem saraf otonomi menjadi terstimulasi sebagai bagian dari respon stress.
Nyeri dengan intensitas ringan hingga sedang
dan nyeri yang superfisial menimbulkan reaksi flight atau fight yang
merupakan sindrom adaptasi umum. Stimulasi pada cabang simpatis pada sistem saraf otonom
menghasilkan respon fisologis (Perry & Potter, 2010).
2)
Reseptor
perilaku
Nyeri dapat dimiliki sifat yang
mendominasi, yang mengganggu kemamupuan individu berhubung dengan orang lain
dan merawat diri sendiri. Berikut tiga fase pengalaman nyeri yaitu antisipasi
(antisipasi terhadap nyeri memungkinkan individu untuk belajar tentang nyeri
dan upaya untuk menghilangkannya), sensasi (individu bereaksi terhadap nyeri
dengan cara yang berbeda-beda, toleransi terhadap nyeri bergantung pada sikap,
motivasi, dan nilai yang diyakini seseorang), dan akibat (setelah mengalami
nyeri, pasien mungkin memperlihatkan gejala-gejala fisik, seperti mengigil, mual,
muntah, atau depresi). Jika pasien mengalami serangkaian episode nyeri
berulang, maka respond akibat dapat menjadi masalah kesehatan yang berat (Perry
& Potter, 2010).
3)
Transmisi
nyeri
Terdapat berbagai teori yang berusaha
menggambarkan bagaimana nosiseptor dapat menghasilkan rangsangan nyeri. Sampai
saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat
timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan (Tamsuri,
2012).
a.
Teori
spesifik (The Specificity theory)
Otak menerima informasi mengenai objek
eksternal dan struktur tubuh melalui saraf sensori. Saraf untuk setiap indra
perasa bersifat spesifik. Artinya, saraf sensori dingin hanya dapat dirangsang
oleh sensasi dingin, bukan oleh panas. Begitu pula dengan saraf sensori lainnya
(Tamsuri, 2012).
Ada dua tipe serabut saraf yang
menghantar stimulus nyeri yaitu serabut saraf tipe A delta dan serabut saraf
tipe C. Ciri-ciri serabut saraf tipe A delta: daya hantar sinyal relatif cepat,
bermielin harus dengan diameter 2-5 mm, membawa rangsangan nyeri yang menusuk,
serabut saraf tipe ini berakhir di kornu dorsalis dan lamina (Tamsuri, 2012)
Ciri-ciri serabut tipe C: daya hantar
sinyal lebih lambat tidak bermielin dengan diameter 0,4-1,2 mm, membawa
rangsangan nyeri terbakar dan tumpul, serabut tipe ini berakhir di lamina II,
III dan IV (Tamsuri, 2012).
Menurut teori spesifik ini timbulnya
sensasi nyeri berhubungan degan pengaktifan ujung-ujung serabut saraf bebas
oleh perubahan mekanis, rangsangan kimia, atau temperatur yang berlebihan.
Presepsi nyeri dibawa oleh serabut saraf nyeri diproyeksikan oleh spinotalamik
ke spesifik pusat nyeri di thalamus (Tamsuri, 2012).
b.
Teori
pola (pattem theory)
Rangsangan nyeri masuk melalui akar
ganglion dorsal ke medula spinalis dan merangsang aktivitas sel T. Hal ini
mengakibatkan suatu respon yang merangsang ke bagian tinggi, yaitu korteks
serebri, serta kontraksi menimbulkan presepsi dan otot berkontruksi sehingga
menimbulkan nyeri. Presepsi dipengaruhi oleh modalitas respon dari reaksi sel T
(Tamsuri, 2012).
c.
Teori
pengendalian kontrol (The gate control
theory)
Nyeri tergantung dari kerja serat saraf
besar dan kecil yang keduanya berada dalam akar ganglion dorsalis. Rangsangan
pada serat saraf besar akan mengingkatkan aktivitas substansia gelatinosa yang
mengakibatkan tertutupnya pintu mekanisme sehingga aktivitas sel T terhambat
dan menyebabkan hantaran rangsangan ikut terlambat. Rangsangan serat besar
dapat langsung merangsang korteks serebri. Hasil presepsi ini akan dikembalikan
ke dalam medula spinalis melalui serat eferen dan reaksinya mempengaruhi
aktivitas sel T. Rangsangan pada serat kecil akan menghambat aktivitas
subtansia gelatinosa dan membuka pintu mekanisme, sehingga merangsang aktivitas
sel T yang selanjutnya menghantarkan rangsangan nyeri (Tamsuri, 2012).
d.
Teori
transmisi dan inhibisi
Adanya stimulus pada nosiseptor melalui
transmisi implus-implus saraf, sehingga transmisi implus nyeri menjadi efektif
oleh neurotransmitter yang spesifik. Kemudian, inhibisi nyeri menjadi efektif oleh
implus-implus pada serabut-serabut besar yang memblok implus-implus pada
serabut lamban dan endogen opiate sistem supresif (Tamsuri, 2012).
7.
Pengukur
Nyeri
Skala penilaian numerik ( Numerical Raring Scale, NRS) lebih
digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsian kata. Dalam hal ini, pasien
menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan
saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi (Andarmoyo,2013).
0
1 2 3
4 5 6
7 8 9 10
Tidak Nyeri
Ringan Nyeri Sedang Nyeri Berat Nyeri
Nyeri Terkontrol Berat tidak
terkontrol
Gambar 2.7
(Andarmoyo,
S. 2013) Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri. Jogyakarta: Ar-Ruzz
8.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi Nyeri
Nyeri pada seseorang dapat dipengaruhi
oleh beberapa hal (Asmadi, 2008), diantaranya :
a)
Arti
nyeri bagi seseorang memiliki banyak perbedaan dan hampir sebagian arti nyeri
merupakan arti yang negative, seperti membahayakan, merusak , dan lain-lain,
keadaan ini dipengaruhi oleh berbagai factor, seperti usia, jenis kelamin,
latar belakang sosial budaya, lingkungan, dan pengalaman
(Asmadi, 2008).
b)
Presepsi
nyeri merupakan penilaian yang sangat subjektif tempatnya pada korteks (pada
fungsi evaluative kognitif) (Asmadi, 2008).
c)
Toleransi
nyeri ini erat hubungan dengan
intensitas nyeri yang dapat mempengaruhi kemampuan seseorang menahan nyeri (Asmadi, 2008).
9.
Manajemen
Nyeri
Perawat perlu melakukan pendekatan nyeri
secara sistematis sehingga dapat memahami nyeri klien rasakan dan dapat
memberikan terapi yang sesuai, proses keperawatan dalam penatalaksanaan nyeri menurut
(Tamsuri, 2012) di antaranya :
1)
Ekspresi
nyeri
Klien pertama harus mempersiapkan suatu
kebutuhan untuk melaporkan nyeri, klien dapat mengungkapkan sedikit informasi
tentang apa yang dirasakan.
2)
Klasifikasi
pengalaman nyeri
Fase-fase nyeri yaitu antisipasi,
sensasi dan akibat mempengaruhi bukan saja gejala yang klien alami, tetapi
terapi yang memiliki kemungkinan paling besar untuk mengatasi nyeri.
3)
Karakteristik
nyeri
a)
Awaitan
dan durasi
Perawat mengajukan pertanyaan untuk
menentukan durasi dan rangkaian nyeri, kapan nyeri dirasakan dan seberapa lama
nyeri dirasakan (Tamsuri, 2012).
b)
Lokasi
Perawat meminta klien menunjukan semua
daerah yang dirasakan tidak nyaman. Karakteristik yang paling subjektif pada
nyeri adalah tingkat keparahan atau intensitas nyeri, salah satu alat ukur
untuk menentukan keparahan nyeri adalah dengan skala penelitian numeric (
numeric Rating Scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendekripsi
kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala
paling efektif digunakan saat pengkaji
intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terpeutik. Terdiri dari garis
lurus sepanjang 10cm : garis paling kiri yaitu tidak ada nyeri sama sekali,
garis paling kanan yaitu rasa nyeri paling buruk. Minta pasien untuk memberikan
garis tegak lurus yang menandakan rasa nyeri yang dirasakannya (Tamsuri, 2012).
10.
Mekanisme relaksasi progresif terhadap penurunan nyeri
Fisiologi nyeri
terdiri dari tranduksi, transmisi, modulasi dan presepsi dalam transmisi
terdapat substansi yang mempengaruhi transmisi stimulasi saraf yang memegang
peranan penting dalam suatu pengalaman nyeri, substansi ini disebut
Neuroregulator. Substansi ini ditemukan di lokasi nosiseptor, di terminal saraf
di dalam kornu dorsalis pada medulla spinalis. Neuroregulator, bagi menjadi dua
kelompok yaitu neurotransmitter dan neuromodulator. Neuromodulator memodifikasi
neuron dan menyesuaikan atau memvariasikan transmisi stimulus nyeri tanpa
secara langsung menstransfer tanda saraf melalui sebuah sinaps. Endorfin
merupakan salah satu contoh neuromodulator (Perry&Potter, 2010).
Relaksasi progresif dipercaya dapat menurunkan nyeri
dengan merileksasikan dan mengeluarkan hormone endorphin yang menunjang nyeri
(Smeltzer& Bare, 2013). Saat dilakukan relaksasi progresif, simpul-simpul
saraf menstimulus neurotransmitter,
yaitu kimiawi otak yang digunakan untuk me-relay, memodulasi, dan menguatkan
sinyal antara neuro dan sel lainnya, seperti serotonin, dophamine,
norephonephrine, dan noradrenaline. Zat-zat kimia otak tersebut memproduksi
hormon-hormon yang kemudian diserap hippocampusdan
di distribusikan sel-sel otak. Hormon-hormon yang diproduksi, antara lain:
(1) Endorphin yang membuat
hati senang, bersemangat, ceria, dan memiliki motivasi.
(2) Encyphaiein yang membuat
hati tenang, santai, relaks, nyaman, dan jauh lebih focus.
(3) Beta-endorphin yang membuat hati tidak mudah putus asa,
cengeng, maupun malu dan lebih percaya diri.
Melatonin yang membuat mata
lelah, ngantuk, sayup, malas, dan nyaman (Pratomo, 2012)
Comments