POST OPERASI TUTUP KOLOSTOMI
STENOSIS ANI
A.
Pengertian
Stenosis ani merupakan suatu keadaan
dimana lumen anus menyempit, ini karena kurangnya kontraktilitas, disebabkan
tidak adanya / berkurangnya sel ganglion
parasimpatik dari plexus aurbach dan meissner dalam lapisan dinding usus. Sehingga
akan terjadi hipertrofi dan distensi yang berlebihan pada kolon, yang lebih proximal, pada daerah distal terutama anus
terjadi penyempitan karena daerah anus posisinya terhimpit oleh pelvis.
Sebenarnya stenosis ani merupakan
penyakit Hirschprung atau mega kolon yang bersegmen pendek, yaitu mulai dari sfinkter anus sampai sigmoid, sedangkan yang bersegmen panjang melebihi kolon sigmoid sampai usus halus.
Kolostomi merupakan tindakan
infasif dengan tujuan membuat anus buatan, dimaksudkan untuk menjamin
kelancaran pasase usus dan mencegah penyulit – penyulit yang tidak diinginkan
seperti enterokolitis, peritonitis dan sepsis ( Darmawan Kartono, 95 ).
B. Penyebab dan Faktor
Predisposisi
Kelainan ini merupakan faktor kongenital atau bawaan. Penyebab belum
diketahui secara pasti. Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan bayi yang timbul sejak
kehidupan hasil konsepsi dalam kandungan. Kelainan kongenital suatu mal formasi, yaitu jenis kelainan kongenital
yang timbul dalam kehidupan intra uterine, pada masa stadium organogenesis di kehamilan trimester
pertama. Penyebab kelainan kongenital belum diketahui, ada beberapa
faktor peyebab :
1.
Kelainan Kromosom
Kelainan
genetik pada suami atau istri dapat menimbulkan kelainan kongenital
pada anaknya. Dengan kemajuan teknik dalam menyelidiki secara langsung bentuk
dan jumlah kromosom dalam sel – sel
manusia, maka dapat ditemukan hubungan antara kelainan dalam jumlah serta bentuk kromosom dan kelainan kongenital
tertentu, misalnya kelainan pada kromosom autosome pada organ dalam
menyebabkan gastroschisis, omfalokel, megacolon
atau hirschprung.
2.
Faktor Mekanik
Tekanan mekanik pada janin dalam uterus
dapat menyebabkan kelainan bentuk.
Bentuk kelainan tergantung daerah organ
yang mengalami tekanan yang terus menerus,
3.
Faktor Infeksi
Infeksi yang dapat menimbulkan kelainan kongenital
ialah terutama infeksi oleh virus. Pada masa organogenesis , yakni dalam triwulan pertama kehamilan, karena
infeksi ini menimbulkan gangguan dalam pembentukan alat – alat atau organ dalam
tubuh janin.
4.
Faktor umur ibu
Kehamilan di usia tua atau mendekati
menopouse beresiko lebih tinggi melahirkan anak dengan kelainan kongenital
cacat. Ini diduga karena menurunnya fungsi organ yang mendukung proses
kehamilan terutama hormon.
5.
Radiasi
Radiasi yang terus menerus pada kehamilan
dapat menimbulkan mutasigene, yang dapat
menyebabkan kelainan kongenital pada yang dilahirkan
6.
Faktor gizi
Pada ibu hamil yang kekurangan gizi beresiko
melahirkan bayi cacat dari pada ibu yang hamil kecukupan gizi. Diduga vitamin
A, riboflamin, asam folik, thiamin gizi pendukung pada stadium organogenesis di triwulan pertama.
7.
Faktor lain
Banyak kelainan kongenital
yang tidak diketahui penyebabnya, diduga faktor – faktor hipoxia, hipo –
hiperthermia dan juga masalah – masalah sosial dapat menyebabkan kelainan kongenital
.
Faktor predisposisi
a.
Sosial Ekonomi Rendah
Sosial ekonomi rendah ini berhubungan dengan
status gizi keluarga. Status gizi keluarga yang kurang akan menyebabkan
gangguan pertumbuhan janin, terutama pada masa kehamilan dimana masa ini sangat
dibutuhkan asupan gizi yang cukup. Gizi yang cukup sangat diperlukan untuk
perkembangan janin.
b.
Lingkungan
Lingkungan juga sangat penting untuk
mendukung pertukaran dan perkembangan radikal bebas yang sering disebabkan
polusi terutama polusi udara. Didaerah – daerah industri dan keadaan lingkungan
hidup yang buruk, ini sangat mempengaruhi kesehatan apalagi pada masa – masa
awal dari kehidupan.
c.
Grande Para ( Usia ibu waktu
hamil lebih dari 30 tahun )
Kehamilan diusia tua beresiko lebih tinggi
melahirkan anak cacat. Diduga karena menurunnya fungsi organ yang mendukung
proses kehamilan, terutama hormon kehamilan.
C. Gambaran Klinik
1)
Pada Inspeksi
Distensi abdomen, perut
buncit, muntah – muntah warna kehijauan
2)
Palpasi atau Perabaan
Perabaan pada abdomen
terasa bagian – bagian dari kolon
yang melebar dan bisa dirasakan perut keras atau defans abdomen.
Rectal toucher :
Pada rectal toucher jari terasa terjepit pada bagian yang sempit
3)
Pada riwayat kelahiran,
terlambatnya evaluasi mekonium lebih
dari 24 jam atau anak tidak bisa defekasi sedangkan anus ada. Pada orang dewasa
ada riwayat konstipasi kronik
4)
Radiodiagnostik
Pemeriksaan fotopolos abdomen,
terlihat tanda – tanda obstruksi usus
lebih rendah. Umumnya gambaran kolon
sulit dibedakan dengan gambaran usus halus.
Pada pemeriksaan foto dengan enema barium, terlihat lumen recto sigmoid mengecil, bagian proksimalnya terlihat daerah transisi dan
kemudian melebar. Pemukaan mukosa
bagian usus yang melebar tampak tidak teratur karena proses enterokolitis.
Enema barium tidak perlu diteruskan ke arah proximal bila tanda –
tanda yang khas seperti diatas sudah nampak. Apabila tanda – tanda yang khas
tersebut diatas tidak tampat diteruskan untuk mengetahui gambaran kolon proximal, mungkin ditemukan
penyebab lain.
5)
Patologi Anatomi
Pemeriksaan patologi anatomik dimaksudkan untuk mendeteksi adanya ganglion dilapisan submukosa dan diantara dua lapisan otot,
serta melihat serabut saraf. Apabila sediaan untuk pemeriksaan patologi anatomik
didapatkan dari biopsi, hisap dari mukosa Rectum, pemeriksaan hanya untuk melihat ganglion meissner
dilapisan sub mukosa dan melihat
penebalan serabut – serabut saraf. pada hirschprung
tidak dijumpai penebalan serabut saraf.
D. Anatomi dan Fisiologi
Usus besar merupakan tabung
muskular berongga dengan panjang sekitar 5 kaki ( sekitar 1,5 m ) yang
terbentang dari sekum sampai kanalis ani. Diameter usus besar sudah
pasti lebih besar daripada usus kecil. Rata – rata sekitar 2,5 inci ( sekitar
6,5 m ), tetapi makin dekat anus diameternya semakin kecil.
Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon dan Rectum seperti
dilukiskan dalam gambar. Pada sekum
terdapat katup ileosekal dan appendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar.
Katup ileosekal mengontrol aliran
kimus dari ileum ke sekum. Kolom dibagi lagi menjadi : kolon asendens, transversum desendens dan sigmoid. Tempat dimana kolon
membentuk kelokan tajam yaitu pada abdomen
kanan dan kiri atas berturut – turut dinamakan fleksura hepatika dan fleksura
linealis. Kolon sigmoid mulai setinggi krista iliaka dan berbentuk suatu – S.
lekukan bagian bawah membelok kekiri waktu kolon
sigmoid bersatu dengan rektum, yang
menjelaskan alasan anatomis meletakkan penderita pada sisi kiri bila diberi
enema. Pada posisi ini, gaya
berat membantu mengalirkan air dari rektum
ke fleksura sigmoid. Bagian utama usus besar yang terakhir dinamakan rektum dan terbentang dari kolon sigmoid sampai anus ( muara ke bagian luar tubuh ). Satu inci
terakkhir dari rektum dinamakan kanalis ani dan dilindungi oleh sfingter ani eksternus dan internus.
Panjang rektum dan kanalis ani sekitar 5,9 inci ( 15 cm ).
Usus besar memiliki empat lapisan
morfologik seperti juga bagian usus lainnya. Akan tetapi ada beberapa gambaran
yang khas pada usus besar saja. Lapisan otot logitudinal usus besar tidak
sempurna, tetapi terkumpul dalam tiga pita yang dinamakan taenia koli. Taenia bersatu pada sigmoid distal, dengan demikian rektum
mempunyai satu lapisan otot longitudinal yang lengkap. Panjang taenia lebih
pendek dari pada usus, hal ini menyebabkan usus tertarik dan berkerut membentuk
kantong – kantong kecil yang dinamakan haustra. Apendises epiploika adalah kantong – kantong kecil peritoneum yang
berisi lemak dan melekat di sepanjang taenia. Lapisan mukosa usus lebih besar jauh lebih tebal daripada lapisan mukosa usus halus dan tidak mengandung
vili atau rugae. Kriptus lieberkuhn
(kelenjar intestinal) terletak lebih dalam dan mempunyai lebih bayak sel globlet
daripada usus halus.
Usus besar secara klinis dibagi
menjadi belahan kiri dan kanan sejalan dengan suplai darah yang diterima.
Arteri mesenterika superior
memperdarahi belahan bagian kanan (sekum,
kolon asendens dan dua pertiga
proksimal kolon transvertum), dan arteri messenterika inferior memperdarahi belahan kiri (sepertiga distal kolon trasversum, kolon desendens dan sigmoid, dan bagian proksimal rektum ). Suplai darah tambahan untuk rektum adalah melalui arteria sakralis
media dan arteri hemoroidalis inferior dan media yang di cabangkan
dari arteria iliaka interna dan aorta abdominalis.
Alir balik vena dari kolon dan rektum superior melalui vena
messenterika superior dan inferior dan vena hemorhoidalis superior, yaitu bagian dari sistem portal yang
mengalirkan darah ke hati. Vena
hemorhoidalis media dan inferior mengalirkan darah ke vena iliaka dan merupakan bagian dari
sirkulasi sitematik. Terdapat anastomose
inferior, sehingga peningkatan
tekanan pada portal dapat mengkibatkan aliran balik ke dalam vena – vena ini
dan mengakibatkan hemorhoid.
Persarafan usus besar dilakukan
oleh sistem saraf otonom dengan perkecualian sfingter eksterna yang
berada di bawah kontrol voluntar. Serabut para simpatis berjalan melalui saraf
vagus ke bagian tengah kolon transversum dan saraf pelvikus yang
berasal dari daerah sakral mensuplai bagian distal. Serabut simpatis
meninggalkan medula spinalis melalui saraf splangnikus untuk mencapai kolon. Perangsangan simpatis menyebabkan
pengahambatan sekresi dan kontraksi serta perangsangan simpatis sfingter rektum, sedangkan perangsangan
para simpatis mempunyai efek yang berlawanan.
Usus besar mempunyai berbagai
fungsi yang semuanya berkaitan dengan proses akhir isi usus. Fungsi usus besar
yang paling penting adalah mengabsorpsi air dan elektrolit, yang sudah hampir
lengkap pada kolon bagian kanan. Kolon sigmoid befungsi sebagai reservoir yang menampung massa feses yang sudah dehidrasi sampai
defekasi berlangsung.
Rectum dimulai dari kolon sigmoid
dan berakhir pada saluran anal ± 3 cm
panjangnya. Saluran ini berakhir ke
dalam anus yang dijaga otot internal dan external. Struktur rectum,
serupa dengan kolon tetapi dinding yang berotot lebih tebal. Dan membran
mukosanya membuat lipatan – lipatan membujur yang disebut kolumna morgadni. Didalam anus ini serabut otot musculer menebal
untuk membentuk otot sfingter anus interna. Sel – sel yang melapisi saluran
anus berubah sifatnya, epitium bergaris menggantikan sel – sel silinder,
sfingter externa menjaga saluran anus dan orifisium supaya tertutup.
E. Patofisiologi
Pada penyakit hirschprung karena absensinya ganglion
meissner dan ganglion aurbach dalam
lapisan dinding usus, mulai dari sfingter
ani kearah proximal dengan panjang yang bervariasi 70%-80% terdapat di
daerah rectosigmoid, 10% sampai
seluruh kolon dan sekitar 5 %
mengenai seluruh usus sampai ke pilorus ( Darmawan Kartono, 1997)
Absensinya ganglion meissner dan aurbach mengakibatkan usus yang
bersangkutan tidak bekerja normal. Peristaltik tidak mempunyai daya dorong,
sehingg usus tersebut tidak bisa dalam
proses evakuasi feces ataupun udara, gejala klinis penderita sebagai gangguan
pasase usus. Tiga tanda yang khas; keterlambatan evakuasi mekonium, muntah hijau dan distensi abdomen.
Penampilan Makroskopik : bagian usus yang tidak bergangglion terlihat spastik
dan lumen kecil. Usus di bagian
proximalnya disebut daerah transisi, terlihat mulai melebar dari bagian yang
menyempit usus di proximalnya lebih melebar lagi dan umumnya mengecil kembali
mendekati kaliber lumen usus normal.
F.
|
Pathways
dan Masalah Keperawatan
Pathways
G. Fokus pengkajian
Keperawatan
1.
Pola nutrisi ( menurut ganer)
a)
Pola nutrisi dan metabolik
Penurunan nafsu makan, mual, muntah karena adanya obstruksi gas dan akan meningkatkan
tekanan intra abdomen. Pembatasan
makanan dari Rumah Sakit diet rendah sisa, bubur.
b)
Pola eliminasi BAB
1)
Konstipasi ; karena kelemahan peristaltik usus
2)
Feces ; konsistensi; skibala
3)
Diare ;
biasanya terjadi ada penyulit enterokolitis
c)
Pola aktifitas dan latihan
1)
Aktifitas kebiasaan klien
setiap hari
2)
Kebutuhan hidup ( ADL) sehari –
hari
3)
Pekerjaan klien
d)
Pola reproduksi dan sexual
1)
Tanda – tanda kelamin sekunder,
waktu pertama kali menstruasi
2)
Tanda – tanda kelamin primer
3)
Status klien, bujang, menikah,
tidak menikah
e)
Pola istirahat dan tidur
Istirahat tidur berkurang, merasakan keadaan sakitnya, setuasi tak
adaptif lingkungan rumah sakit
f)
Pola persepsi sensori
1)
Nyeri : kadang distensi abdomen
2)
Sensasi nyeri baik
g)
Pola kognitif
1)
Daya ingat baik
2)
Kesadaran, tergantung sakitnya
h)
Pola peran hubungan keluarga
Hubungan keluarga, orang tua, anak, kakak, adik
i)
Pola persepsi dan konsep diri
1)
Citra tubuh terganggu : kolostomi
2)
Harga diri rendah : adanya citra tubuh yang terganggu
j)
Pola koping dan toleransi
stress
1)
Hobi; untuk mengalihkan
perasaan
2)
Teman dekat; untuk mencurahkan
perasaannya
3)
Intro/ exofet; menghadapi
masalah
k)
Pola nilai kepercayaan
1)
kepatuhan beribadah, agama
klien
2)
hubungan kedekatan dan beribadah
menurut klien
2.
Pemeriksaan fisik
Abdomen :
A.: Peningkatan bising usus, karena terjadi sunbatan, pasase
usus terganggu
P : Defans abdomen, teraba masa skibala, nyeri
P : Timpani, pekak
Rectum :
Inspeksi : terlihat anus
Rectal
: jari terasa terjepit dan terdapat skibala
H. Fokus Intervensi
1.
Gangguan keseimbangan cairan
dan elektrolit berhubungan dengan muntah
Tujuan :
-
keseimbangan cairan dan
elektrolit tidak terganggu
kriteria hasil
-
Intake dan output seimbang
-
Tidak ada tanda – tanda
dehidrasi
-
Tanda – tanda vital normal
intervensi
-
Awasi masukan dan keluaran
cairan
-
Kaji tanda – tanda dehidrasi
-
Kaji tanda – tanda vital
-
Catat intake dan output
-
Kolaburasi untuk pemberian
cairan parenteral
2.
Gangguan rasa nyaman nyeri
berhubungan dengan penekanan saraf tepi
(doengoes, 1993)
Tujuan:
-
Nyeri berkurang/ hilang
Kriteria hasil :
-
Skala nyeri turun
-
Klien tamapak tenang
Intervensi :
-
Monitor intensitas dan skala
nyeri
-
Kaji faktor – faktor yang dapat
meningkatkan dan menurunkan nyeri
-
Ajarkan teknik distraksi dan
relaksasi
-
Kolaburasi pemberian analgetika
-
Kolaburasi pemasangan sonde
lambung dan rectal tube
3.
Gangguan pola eliminasi BAB : konstipasi berhubungan dengan obstruksi Rectum ( Carpenito, 1999)
Tujuan :
-
Pola eliminasi BAB normal
Kriteria hasil :
-
Klien BAB 1X sehari
Intervensi :
-
Kaji penyebab konstipasi
-
Ajarkan diet yang seimbang
-
Dorong masukan cairan
sedikitnya 2000 cc air putih
-
Motivasi mobilisasi aktif yang
dianjurkan
-
Kolaburasi pemberian laksansia
4.
Resiko tinggi infeksi
berhubungan dengan luka, tindakan infasif ( Carpenito, 1999)
Tujuan :
-
Agar tidak terjadi infeksi
Kriteria hasil :
-
Luka bersih
-
Tidak ada tanda – tanda infeksi
Intervensi :
-
Rawat luka secara aseptik dan
antiseptik
-
Kaji tanda – tanda infeksi
-
Kolaburasi gizi untuk pemberian
antibiotika
5.
Resiko tinggi nutrisi kurang
dari kebutuhan berhubungan dengan mual, muntah
Tujuan :
-
Agar kebutuhan nutrisi
terpenuhi
Kriteria hasil :
-
Berat badan seimbang
-
Hb dan albumin dalam keadaan
normal
Intervensi :
-
Kaji penyebab mual, muntah
-
Monitor intake makanan
-
Berikan situasi makan yang
menyenangkan
-
Anjurkan untuk makan porsi
kecil tetapi sering
-
Kolaburasi pemeriksaan Hb dan
albumin per minggu
-
Monitor berat badan
-
Kaji keadaan kulit klien
6.
Gangguan konsep diri : Citra
tubuh berhubungan dengan kolostomi
Tujuan :
-
Agar citra tubuh tidak
terganggu
Kriteria hasil :
-
Klien tampak tidak murung
-
Klien percaya diri
-
Klien bisa berinteraksi dengan
lingkungan
Intervensi :
-
Motivasi klien untuk
mengungkapkan perasaannya
-
Berikan informasi tentang kolostomi yang bisa diterima klien
-
Gali potensi diri klien
-
Gali hal – hal yang positif
-
Motivasi pendekatan spiritual
-
Libatkan keluarga untuk
pemberian suport mental
-
Besarkan hati klien
Comments