Senin, 27 Maret 2017

HIPOGLIKEMIA

HIPOGLIKEMIA

Hipoglikemia merupakan salah satu kegawatan diabetic yang mengancam, sebagai akibat dari menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg/dl. Adapun batasan hipoglikemia adalah:
  • Hipoglikemi murni      : ada gejala hipoglikemi, glukosa darah < 60 mg/dl
·         Reaksi hipoglikemi      : gejala hipoglikemi bila gula darah turun mendadak, misalnya  dari 400 mg/dl menjadi 150 mg/dl
·         Koma hipoglikemi       : koma akibat gula darah < 30 mg/dl
·         Hipoglikemi reaktif     : gejala hipoglikemi yang terjadi 3 – 5 jam sesudah makan.

1.      Patofisologi
Ketergantungan otak setiap saat pada glukosa yang disuplai oleh sirkulasi diakibatkan oleh ketidak mampuan otak untuk membakar asam lemak berantai panjang, kurangnya simpanan glukosa sebagai glikogen didalam otak orang dewasa, dan ketidak tersediaan keton dalam fase makan atau posabsorbtif.

Puasa / intake kurang
¯
Glikogenolisis
¯
Deficit glikogen pada hepar
¯
Gula darah menurun < 60 mg/dl
¯
Penurunan nutrisi jaringan otak
¯


Respon SSP


Respon Otak                                                                                 Respon Vegetatif
      ¯                                                                                                          ¯
Kortek serebri                                                                   Pelepasan norepinefrin &
kurang suplai energi ( < 50mg/dl)                                                 adrenalin
                  ¯                                                                                              ¯

Kekaburan yang dirasa dikepala                                       Takikardia, pucat, gemetar,
Sulit konsentrasi / berfikir                                                 berkeringat
Gemetar                                                                                        ¯
Kepala terasa melayang                                                    Tidak sadar
Gangguan proses berfikir                                                  Stupor, kejang, koma

2.      Manifestasi Klinis
·         Lapar
·         Gemetar
·         Gangguan berpikir dan konsentrasi
·         Keringat dingin, berdebar
·         Pusing, gelisah, akhirnya koma

3.      Penatalaksanaan
·         Glukosa darah diarahkan kekadar glukosa  puasa  : 120 mg/dl
·         Dengan rumus 3 – 2 – 1

Hipoglikemi:
·         Pisang / roti / karbohidrat lain, bila gagal
·         Teh gula, bila gagal  tetesi gula kental atau madu dibawah lidah.

Koma hipoglikemi:
·        
Injeksi glukosa 40% iv 25 ml                    infus glukosa 10%, bila belum sadar dapat diulang setiap ½ jam sampai sadar (maksimum 6 x) bila gagal
·        
Injeksi efedrin bila tidak ada kontra indikasi jantung dll 25 – 50 mg atau injeksi glukagon 1 mg/im, setelah gula darah stabil, infus glukosa 10% dilepas bertahap dengan glukosa 5%                     stop.


SISTEM HEMOSTASIS

HEMOSTASIS



II.1   Komponen penting dalam sistem Hemostasis
Sistem Hemostasis pada dasarnya terbentuk dari tiga kompartemen hemostasis yang sangat penting dan sangat berkaitan yaitu trombosit, protein darah dan jaring-jaring pembuluh darah. Agar terjadi peristiwa hemostasis yang normal, trombosit harus mempunyai fungsi dan jumlah yang normal. Sistem protein darah sangat berperan penting tidak hanya sebagai protein pembekuan akan tetapi sangat berperan dalam dalam fisiologi perdarahan dan trombosis.
II.1.1       Pembuluh darah
Pembuluh darah sangat besar peranannya dalam sistem hemostasis. Dinding pembuluh darah terdiri dari tiga lapisan morfologis: intima, media, dan adventitia. Intima terdiri dari (1) selapis sel endotel non trombogenik yang berhubungan langsung dengan pembuluh darah dan (2) membran elastik interna. Media dibentuk oleh sel otot polos yang ketebalannya tergantung dari jenis arteri dan vena serta ukuran pembuluh darah. Adventitia terdiri dari suatu membran elastik eksterna dan jaringan penyambung yang menyokong pembuluh darah tersebut. Gangguan pembuluh darah yang terjadi seringkali berupa terkelupasnya sel endotel yang diikuti dengan pemaparan kolagen subendotel dan membran basalis. Gangguan ini terjadi akibat asidosis, endotoksin sirkulasi, dan komplek antigen/antibodi sirkulasi.
Fungsi pembuluh darah meliputi permiabilitas yang apabila meningkat akan berakibat kebocoran pembuluh darah fragilitas yang apabila meningkat menyebabkan pecahnya pembuluh darah dan vaso konstriksi yang menyebabkan sumbatan vaskuler.

II.1.2       Trombosit
Trombosit merupakan komponen sistem hemostasis yang amat penting dan kompleks. Trombosit adalah kuntum sel yang dihasilkan dari megakariosit. Trombosit tidak punya inti dan disusun dari suatu zona perifer yang terdiri dari  suatu glukokaliks sebelah luar, membran plasma, dan suatu sistem kanalikuler yang terbuka. Dalam zona perifer terdapat suatu zona "sol-gel" yang tersusun dari mikrotubulus, mikrofilamen, tubulus yang padat dan trombostenin yaitu protein trombosit yang dapat berkerut. Zona organel mengandung bahan-bahan padat, granula alfa dan mitokondria. Trombosit berbentuk bulat kecil atau cakram oval. Diameternya 2-4 mikron. Sel megakariosit yang menghasilkan trombosit merupakan sel yang sangat besar dalam susunan hemopoitik yang berada dalam sum-sum tuilang dan tidak meninggalkannya untuk memasuki darah.
Konsentrasi normal trombosit dalam darah adalah antara 150.000-350.000 mm kubik. Meskipun tidak mempunyai inti, trombosit mempunyai ciri fungsional sebagai sebuah sel. Dalam sitoplasma terdapat molekul aktif seperti : (1) aktin dan miosin yang menyebabkan trombosit berkontraksi, (2) sisa retikulum endoplasma dan aparatus golgi yang mensintesis enzim dan menyimpan besar ion kalsium, (3) sistem enzim yang mampu membentuk ATP dan ADP, (4) sistem enzim yang mensintesis prostaglandin, (5) suatu protein penting yaitu faktor pemantap fibrin, dan (6) faktor pertumbuhan yang dapat menyebabkan penggandaan dan pertumbuhan sel endotel pembuluh darah. Pada membran sel trombosit terdapat lapisan glikoprotein yang menyebabkan trombosit bisa melekat pada pembuluh darah yang luka, terutama pada sel endotel yang rusak dan jaringan kolagen yang terbuka. Trombosit juga mengandung fosfolipid yang dapat mengaktifkan salah satu sistem pembekuan darah yang disebut sistem intrinsik. Pada membran trombosit terdapat enzim adenilat siklase yang bila diaktifkan dapat menyebabkan pembentukan AMP siklik yang menggiatkan aktifitas dalam trombosit. Jadi trombosit merupakan struktur yang sangat aktif, waktu paruhnya 8-12 hari setelah itu mati. Trombosit kemudian diambil dari sirkulasi, terutama oleh makrofag jaringan. Lebih dari separuh trombosit diambil oleh makrofag pada waktu darah melewati kisi trabekula yang tepat. (Guyton, 1997)

II.1.3       Protein darah
Protein darah yang terlibat dalam hemostasis meliputi protein koagulasi, protein enzim fibrinolitik sistem kinin dan sistem komplemen serta inhibitor yang terdapat pada sistem-sistem tersebut. Sistem protein koagulasi terpusatkan pada tiga reaksi yaitu pada reaksi pembentukan faktor Xa, reaksi pembentukan trombin, dan reaksi pembentukan fibrin. Protease serin adalah faktor pembekuan yang diaktifkan pada reaksi pembentukan faktor Xa dan bagian yang aktif untuk aktivitas enzim adalah asam amino serin. Pada ketiga reaksi kunci tersebut memerlukan komponen-komponen seperti substrat, enzim, kofaktor, fosfolipoprotein dan kalsium. (Sodeman, 1995)

II.2   Mekanisme Hemostasis
Istilah hemostasis berarti pencegahan hilangnya darah. Bila pembuluh darah mengalami cidera atau pecah, hemostasis akan terjadi. Peristiwa ini terjadi melalui beberapa cara yaitu : vasokonstriksi pembuluh darah yang cidera, pembentukan sumbat trombosit, pembekuan darah, dan pertumbuhan jaringan ikat kedalam bekuan darah untuk menutup pembuluh yang luka secara permanen. Kerja mekanisme pembekuan in vivo ini diimbangi oleh reaksi-reaksi pembatas yang normalnya mencegah mencegah terjadinya pembekuan di pembuluh yang tidak mengalami cidera dan mempertahankan darah berada dalam keadaan selalu cair.
II.2.1.     Vasokonstriksi pembuluh darah
            Segera setelah pembuluh darah terpotong atau pecah, rangsangan dari pembuluh darah yang rusak menyebabkan dinding pembuluh berkontraksi sehingga aliran darah dari pembuluh darah yang pecah barkurang. Kontraksi terjadi akibat refleks syaraf dan spasme miogenik setempat. Refleks saraf dicetuskan oleh rasa nyeri atau lewat impuls lain dari pembuluh darah yang rusak. Kontraksi miogenik yang sebagian besar menyebabkan refleks saraf ini, terjadi karena kerusakan pada dinding pembuluh darah yang menimbulkan transmisi potensial aksi sepanjang pembuluh darah. Konstriksi suatu arterioul menyebabkan tertutupnya lumen arteri. (Guyton, 1997)

II.2.2.     Pembentukan sumbat trombosit
Perbaikan oleh trombosit terhadap pembuluh darah yang rusak didasarkan pada fungsi penting dari trombosit itu sendiri. Pada saat trombosit bersinggungan dengan pembuluh darah yang rusak misalnya dengan serabut kolagen atau dengan sel endotel yang rusak, trombosit akan berubah sifat secara drastis. Trombosit mulai membengkak, bentuknya irreguler dengan tonjolan yang mencuat ke permukaan. Trombosit menjadi lengket dan melekat pada serabut kolagen dan mensekresi ADP. Enzimnya membentuk tromboksan A, sejenis prostaglandin yang disekresikan kedalam darah oleh trombosit. ADP dan tromboksan A kemudian mengaktifkan trombosit yang berdekatan sehingga dapat melekat pada trombosit yang semula aktif. Dengan demikian pada setiap lubang luka akan terbentuksiklus aktivasi trombosit yang akan menjadi sumbat trombosit pada dinding pembuluh. (Guyton, 1997)

II.2.3.     Pembentukan bekuan darah
Bekuan mulai terbentuk dalam 15-20 detik bila trauma pembuluh sangat hebat dan dalam 1-2 menit bila trauma pembuluh kecil. Banyak sekali zat yang mempengaruhi proses pembekuan darah salah satunya disebut dengan zat prokoagulan yang mempermudah terjadinya pembekuan dan sebaliknya zat yang menghambat proses pembekuan disebut dengan zet antikoagulan. Dalam keadaan normal zat antikoagulan lebih dominan sehingga darah tidak membeku. Tetapi bila pembuluh darah rusak aktivitas prokoagulan didaerah yang rusak meningkat dan bekuan akan terbentuk. Pada dasarnya secara umum proses pembekuan darah melalui tiga langkah utama yaitu pembentukan aktivator protombin sebagai reaksi terhadap pecahnya pembuluh darah, perubahan protombin menjadi trombin yang dikatalisa oleh aktivator protombin, dan perubahan fibrinogen menjadi benang fibrin oleh trombin yang akan menyaring trombosit, sel darah, dan plasma sehingga terjadi bekuan darah.
a.          Pembentukan aktivator protombin
Aktivator protombin dapat dibentuk melalui dua jalur, yaitu jalur ekstrinsik dan jalur intrinsik. Pada jalur ekstrinsik pembentukan dimulai dengan adanya peristiwa trauma pada dinding pembuluh darah sedangkan pada jalur intrinsik, pembentukan aktivator protombin berawal pada darah itu sendiri.
Langkah-langkah mekanisme ekstrinsik sebagai awal pembekuan
1.       Pelepasan tromboplastin jaringan yang dilepaskan oleh jaringan yang luka. Yaitu fosfolipid dan satu glikoprotein yang berfungsi sebagai enzim proteolitik.
2.       Pengaktifan faktor X yang dimulai dengan adanya penggabungan glikoprotein jaringan dengan faktor VII dan bersama fosfolipid bekerja sebagai enzim membentuk faktor X yang teraktivasi.
3.       Terjadinya ikatan dengan fosfolipid sebagai efek dari faktor X yang teraktivasi yang dilepaskan dari tromboplastin jaringan . Kemudian berikatan dengan faktor V untuk membentuk suatu senyawa yang disebut aktivator protombin.






Gambar 1. Mekanisme ekstrinsik sebagai awal pembekuan
(Guyton, 1997)
Langkah-langkah mekanisme intrinsik sebagai awal pembekuan
1.       Pengaktifan faktor XII dan pelepasan fosfolipid trombosit oleh darah yang terkena trauma. Bila faktor XII terganggu misalnya karena berkontak dengan kolagen, maka ia akan berubah menjadi bentuk baru sebagai enzim proteolitik yang disebut dengan faktor XII yang teraktivasi.
2.       Pengaktifan faktor XI yang disebabkan oleh karena faktor XII yang teraktivasi bekerja secara enzimatik terhadap faktor XI. Pada reaksi ini diperlukan HMW kinogen dan dipercepat oleh prekalikrein.
3.       Pengaktifan faktor IX oleh faktor XI yang teraktivasi. Faktor XI yang teraktivasi bekerja secara enzimatik terhadap faktor IX dan mengaktifkannya.
4.       Pengaktifan faktor X oleh faktor IX yang teraktivasi yang bekerja sama dengan faktor VIII dan fosfolipid trombosit dari trombosit yang rusak untuk mengaktifkan faktor X.
5.       Kerja dari faktor X yang teraktivasi dalam pembentikan aktivator protombin. Langkah dalam jalur intrinsic ini pada prinsipnya sama dengan langkah terakhir dalam jalur ekstrinsik. Faktor X yang teraktivasi bergabung dengan faktor V dan fosfolipid trombosit untuk membentuk suatu kompleks yang disebut dengan activator protombin. Perbedaannya hanya terletak pada fosfolipid yang dalam hal ini berasal dari trombosit yang rusak dan bukan dari jaringan yang rusak. Aktivator protombin dalam beberapa detik mengawali pemecahan protombin menjadi trombin dan dilanjutkan dengan proses pembekuan selanjutnya.
b.         Perubahan protombin menjadi trombin yang dikatalisis oleh activator protombin.
Setelah activator protombin terbentuk sebagai akibat pecahnya pembuluh darah, activator protombin akan menyebabkan perubahan protombin menjadi trombin yang selanjutnya akan menyebabkan polimerisasi molekul-molekul fibrinogen menjadi benang-benang fibrin dalam 10-15 detik berikutnya. Pembentukan activator protombin adalah faktor yang membatasi kecepatan pembekuan darah. Protombin adalah protein plasma, suatu alfa 2 globulin yang dibentuk terus menerus di hati dan selalu dipakai untuk pembekuan darah. Vitamin K diperlukan oleh hati untuk pembekuan protombin. Aktivator protombin sangat berpengaruh terhadap pembentukan trombin dari protombin. Yang kecepatannya berbanding lurus dangan jumlahnya. Kecepatan pembekuan sebanding dengan trombin yang terbentuk.
c.          Perubahan fibrinogen menjadi fibrin.
Trombin merupakan enzim protein yang mempunyai kemampuan proteolitik dan bekerja terhadap fibrinogen dengan cara melepaskan 4 peptida yang berberat molekul kecil dari setiap molekul fibrinogen sehingga terbentuk molekul fibrin monomer yang mempunyai kemampuan otomatis berpolimerisasi dengan molekul fibrin monomer lain sehingga terbentuk retikulum dari bekuan. Pada tingkat awal dari polimerisasi, molekul-molekul fibrin monomer saling berikatan melalui ikatan non kovalen yang lemah sehingga bekuan yang dihasilkan tidaklah kuat daan mudah diceraiberaikan. Oleh karena itu untuk memperkuat jalinan fibrin tersebut terdapaat faktor pemantap fibrin dalaam bentuk globulin plasma. Globulin plasma dilepaskan oleh trombosit yang terperangkap dalam bekuan. Sebelum faktor pemantap fibrin dapat bekerja terhadap benang fibrin harus diaktifkan lebih dahulu. Kemudian zat yang telah aktif ini bekerja sebagai enzim untuk menimbulkan ikatan kovalen diantara molekul fibrin monomer dan menimbulkan jembatan silang multiple diantara benang-benang fibrin yang berdekatan sehingga menambah kekuatan jaringan fibrin secara tiga dimensi.

II.3   Kelainan Patofisiologi Hemostasis dan Pembekuan darah
Kelainan patofisiologis hemostasis dan pembekuan darah bias disebabkan oleh defisiensi salah satu faktor pembekuan dan kelainan jumlah trombosit. Perdarahan hebat dapat terjadi akibat defisiensi vitamin K, hemofilia serta trombositopenia. Selain itu kelainan dapat terjadi akibat adanya bekuan yang terbentuk secara abnormal seperti pada keadaan tromboembolus pada manusia.
a.          Perdarahan hebat akibat defisiensi vitamin K
Akibat kekurangan vitamin K, seseorang otomatis akan mengalami penurunan protombin, faktor VII, faktor IX, dan faktor X. Hampir seluruh faktor pembekuan dibentuk di hati. Oleh karena itu penyakit-penyakit hati seperti hepatitis, sirosis, acute yellow tropy dapat menghambat system pembekuan sehingga pasien mengalami perdarahan hebat. Vitamin K diperlukan untuk pembentukan faktor pembekuan yang sangat penting yaitu protombin, faktor IX, faktor X dan faktor VII. Vitamin K disintesis terus dalam usus oleh bakteri sehingga jarang terjadi defisiensi. Defisiensi vitamin K dapat terjadi pada orang yang mengalami gangguan absorbsi lemak pada traktus gastrointestinalis. Selain itu disebabkan juga karena kegagalan hati mensekresi empedu dalam traktus intestinalis akibat obstruksi saluran empedu.
b.         Hemofilia
Hemofilia adalah kecenderungan perdarahan yang hampir selalu terjadi pada pria yang disebabkan defisiensi faktor VIII yang dikenal dengan nama hemofilia A atau hemofilia klasik. Faktor tersebut diturunkan secara resesif melalui kromosom wanita. Oleh karena itu hampir seluruh wanita tidak pernah menderita hemofilia karena paling sedikit  satu dari duaa kromosom X nya mempunyai gen-gen sempurna. Tetapi bila salah satu kromosom X nya mengalami defisiensi maka akan menjadi carier hemofilia. Perdarahan pada hemofilia biasanya tidak terjadi kecuali mendaapat trauma. Faktor pembekuan VIII terdiri dari dua komponen yang terpisah. Komponen yang kecil sangat penting untuk jalur pembekuan intrinsic dan defisiensi komponen ini mengakibatkan hemofilia klasik. Tidak adanya komponen besar dari faktor pembekuan VIII menyebabkan penyakit willebrand.
c.          Trombositopenia.
Trombositopenia berarti trombosit dalam system sirkulasi jumlahnya sedikit. Penderita trombositopenia cenderung mengalami perdarahan seperti pada hemofilia. Tetapi perdarahannya berasal dari kapiler kecil bukan dari pembuluh yang besar seperti pda hemofilia. Sehingga timbul bintik-bintik perdarahan pada seluruh jaringan tubuh. Kulit penderita menampakkan bercak-bercak kecil berwarna ungu yang disebut dengan trombositopenia purpura. Sebagian besar penderita trombositopenia mempunyai penyakit yang dikenal dengan trombositopenia idiopatik yang berarti tidak diketahui penyebabnya. Jumlah trombosit dalam darah dapat berkurang akibat adanya abnormalitas yang menyebabkan aplasia sum-sum tulang. Penghentian perdarahan dapat dicapai dengan memberikan tranfusi darah segar. Prednison dan azatioprin yang bersifat menekan pembentukan antibodi bermanfaat bagi penderita trombositopenia idiopatik.
d.         Keadaan Tromboembolik pada Manusia
Bekuan yang abnormal yang terbentuk dalam pembuluh darah disebut thrombus. Darah yang mengalir dapat melepaskan trombus itu dari tempat perlekatannya, dan bekuan yang mengalir bebas dikenal dengan embolus. Embolus akan terus mengalir sampai suatu saat tersangkut di pembuluh darah yang sempit. Embolus yang berasal dari arteri besar atau jantung bagian kiri akan menyumbat arteri sistemik atau arterioul. Embolus yang berasal dari system vena dan jantung bagian kanan akan mengalir memasuki pembuluh paru dan menyebabkan emboli dalam arteri paru. Penyebab timbulnya tromboembolus pada manusia adalah arteriosclerosis, infeksi atau trauma yang menyebabkan permukaan endotel pembuluh yang kasar. Hal tersebut dapat mengawali proses pembekuan. Sebab lain adalah karena darah sering membeku bila mengalir sangat lambat, karana sejumlah kecil trombin dan prokoagulan lain selalu dibentuk. Bekuan tersebut dihilangkan dari peredaran darah oleh makrofag terutama sel kupfer di hati. Bila darah mengalir terlalu lambat maka kadar prokoagulan meningkat sehingga proses pembekuan akan dimulai. Karena pembekuan hampir selalu terjadi pada darah yang terhambat alirannya dalam pembuluh dalam beberapa jam, maka imobilitas pasien ditempat tidur ditambah dengan penyanggaan lutut dengan bantal sering menimbulkan pembekuan intravaskular disebabkan bendungan darah vena tungkai selama beberapa jam.
Bekuan tersebut bertambah besar terutama ke daerah yang bergerak lamban kadang sampai mengisi seluruh panjang vena tungkai dan bahkan tumbuh ke atas sampai ke vena iliaka komunis dan vena kava inferior. Bagian besar dari bekuan terlepas dari perlekatannya pada dinding pembuluh darah dan mengalir secara bebas mengikuti darah vena ke jantung bagian kanan kemudian ke arteri pulmonalis menimbulkan emboli paru yang masif.

DAFTAR PUSTAKA

Ganong, W. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran . Edisi 14. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 524-30

Gilvery, Robert W M C., Goldstein, Geral W. 1996. Biokimia Suatu Pendekatan Fungsional. Edisi 3 Alih Bahasa Dr. Tri Martini Sumarno. Surabaya : Penerbit AUP. Hal 376-87

Guyton, A., & Hall, J. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9 Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 250-315

Kosasih. dr. E.N. 1982. Kapita Selekta Hematologi Klinik. Penerbit Alumni. Jakarta. Hal 103-43


Sodeman. 1995. Patofisiologi : Mekanisme Penyakit. Jakarta. Hal 373-82

LP HEMANGIOMA

HEMANGIOMA



Hemangioma adalah suatu kelainan pembuluh darah bawaan yang tidak ikut aktif dalam peredaran darah umum. Hemangioma bukanlah tumor neoplastik sekalipun mempunyai kecenderungan untuk membesar. Ia merupakan “mesodermal excess” dari jaringan “vaso formative”.

patofisiologi
Hemangioma merupakan sisa-sisa jaringan “vaso formative”dari jaringan mesidermal dan mempunyai kemampuan untuk berkembang.
Macam-macam Hemangioma :
Hemangioma dibedakan :
1.         Hemangioma kapiler.
Dari Hemangioma kapiler, dikenal :
1)        “Salmon patch”.
2)        “Port wine stain”.
3)        “Spider angioma”.
4)        “Strawberry mark”
Tanda-tanda Hemangioma kapiler, berupa bercak merah tidak menonjol dari permukaan kulit. “Salmon patch” berwarna lebih muda sedang “Port wine stain” lebih gelap kebiru-biruan, kadang-kadang membentuk benjolan di atas permukaan kulit.

2.         Hemangioma kavernosum.
Tampak sebagai suatu benjolan, kemerahan, terasa hangat dan “compressible” (tumor mengecil bila ditekan dan bila dilepas dalam beberapa waktu membesar kembali).

3.         Hemangioma campuran (kapiler dan kavernosum).

Diantara jenis Hemangioma kavernosum dan campuran ada yang disertai fistula arterio-venous (bawaan).

gejala klinis
Tergantung macamnya :
·           Hemangioma kapiler, “Port wine stain” tidak ada benjolan kulit.
·           “Strawberry mark”, menonjol seperti buah murbai.
·           Hemangioma kavernosum, teraba hangat dan “compressible”.

pemeriksaan dan diagnosis
·           Mudah nampak secara klinis, sebagai tumor yang menonjol atau tidak menonjol dengan warna kemerah-merahan.
·           Tumor bersifat “compressible”.
·           Kalau perlu dengan pemeriksaan angiografi.

diagnosa banding
“A – v shunt”

komplikasi
·           Perdarahan.
·           Pada tempat tertentu, dapat mengganggu fungsi, seperti : ambliopia, sesak nafas, gangguan kencing.
·           Trombositopenia, D.I.C.

PENATALAKSANAAN
Dari segi pengobatan, karena adanya persamaan-persamaan dalam tindakan, maka dapat digolongkan atas 3 golongan yaitu :

Golongan I :
a.         ”Strawbery mark”
b.         Hemangioma kavernosum
c.         Hemangioma campuran

Golongan II
a.         ”Salmon patch”
b.         ”Port wine stain”

Golongan III
a.         ”Spider angioma” dengan ”central arteriole”
Pengobatan untuk Golongan I
1.         Radiasi : radiasi dapat membuat involusi, tapi komplikasi-komplikasi radiasi jauh lebih berbahaya dari pada hemangiomanya sendiri bila tidak diobati.
2.         Pembedahan
a.         Eksisi hemangioma
Bukan cara yang ideal karena kesukaran teknis, perdarahan banyak, tidak dapat mengambil secara tuntas tanpa merusak organ setempat, untuk hemangioma kecil kurang dari 1 cm, di daerah nasolabialis eksisi akan memberi hasil baik.
b.         Ligasi arteri proksimal : kurang memuaskan
c.         Ligasi ”a-v shunt”
d.        Elektro koagulasi : untuk ”spider angioma”
e.         ”Sclerozing agent”
Dipakai 5% sod. Morhuate. Dipergunakan hanya di daerah skalp, lidah, mucosa, dimana sikatriks yang timbul tidak akan menyusahkan kelak.
f.          Kortikosteroid : dosis pemberian per oral 20-30 mg/hari selama 2-3 minggu, dan pelan-pelan diturunkan sampai 3 bulan.
Kortikosteroid, menambah sensitifnya pembuluh darah terhadap vaso constricting agent.
3.         Menunggu :
Tindakan ini dilakukan atas dasar pertimbangan, bahwa hemangioma ini akan mengalami involusi spontan. Hemangioma ini sudah ada sejak lahir atau timbul sementara sesudah lahir. Kemudian membesar dengan cepat sampai umur 6-9 bulan. Selama 1 tahun berikutnya ia tumbuh pelan sampai maksimum besarnya pada lebih kurang umur 1 tahun. Kemudian mulai terjadi involusi spontan. Perjalanan involusi ini berjalan bertahun-tahun, sampai umur 7 tahun.

Pengobatan Golongan II :
“Salmon patch” dan “Port wine statis”, tidak mengadakan regresi spontan. Tindakan eksisi kemudian defek ditutup dengan skin graft atau dengan flap memberikan hasil lebih jelek dari sebelum operasi. Penanganan yang memberi hasil memuaskan dengan sinar Laser Argon.



DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. (1999). Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Edisi 2. (terjemahan). Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarata.

Carpenito, Lynda Juall. (2000.). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. (terjemahan). Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Doenges, Marilynn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. (terjemahan). Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Engram, Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Volume 2, (terjemahan). Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Junadi, Purnawan. (1982). Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Long, Barbara C. (1996). Perawatan Medikal Bedah. Volume I. (terjemahan). Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran. Bandung.

Mansjoer, Arif., et all. (1999). Kapita Selekta Kedokteran. Fakultas Kedokteran UI : Media Aescullapius.


                    (1994). Pedoman Diagnosis Dan Terapi Ilmu Bedah. Fakultas Kedokteran Unair & RSUD dr Soetomo Surabaya 

Rabu, 22 Maret 2017

Download Power Point ( PPT ) Ventrikel Septum Defek


EFFUSI PLEURA MALIGNA

EFFUSI PLEURA MALIGNA


I. PENDAHULUAN

Effusi pleura adalah terkumpulnya cairan di dalam rongga pleura dengan jumlah yang lebih besar dari normal ( nilai normal 10-20 cc), sehingga dapat dinilai dengan pemeriksaan radiologis dan munculnya kelainan restriktif pada paru.
Tingkat besarnya effusi pleura ditentukan oleh faktor-faktor :
a. Jumlah cairan yang sedemikian banyak sehingga terjadi pemburukan fungsi restriktif.
b. Kecepatan pembentukan cairan. Makin cepat terjadi pembentukan cairan makin memperburuk keadaan penderita.
c. Jenis cairan. Serohemorhagik lebih berbahaya dari non sero hemorhagik. Memburuknya fungsi paru ini ditentukan oleh jumlah cairan yang terbentuk dalam satuan waktu 

Untuk menggambarkan kecepatan pembentukan ini terdapat istilah effusi pleura maligna. Dimana jumlah cairan yang terbentuk jauh lebih besar dari jumlah cairan yang diabsorbsi sehingga menimbulkan kelainan fungsi restriktif selain dari pergeseran alat-alat mediastinal, pembentukan cairan ini disebabkan oleh keganasan.
Bila terjadi pergeseran alat mediastinal baik yang disebabkan oleh terbentuknya cairan maupun karena aspirasi cairan, kedua keadaan dapat menimbulkan kegawatan paru.
Persoalan pokok pada penderita effusi pleura maligna adalah mengatasi penambahan  jumlah cairan yang terjadi secara massive dalam waktu singkat. Makin tinggi kecepatan pembentukan cairan pleura makin tinggi pula tingkat kegawatan yang terjadi. Para penyelidikan juga membuktikan bahwa pembentukan cairan pleura karena tumor ganas baik metastasis ataupun primer dari pleura merupakan tanda prognosa yang buruk.

II.                ETIOLOGI

Sebagian besar penyebab dari effusi pleura maligna ditimbulkan oleh tumor ganas paru, dan dapat disebabkan pula oleh berbagai penyakit antara lain infeksi (TBC, virus, parasit, jamur atau berbagai kuman lainnya). Sedangkan secara teoritis dapat timbul oleh karena malnutrisi, kelainan sirkulasi limphe, trauma thorak, infeksi pleura, sirosis hepatis, meigh syndrome, sub phrenic abses, vena cava superior syndrome, SLE, rheumatoid artritis dan radioterapi mediastinal serta berbagai sebab yang belum jelas (idiopatik).
Dari berbagai penyebab ini keganasan merupakan sebab yang terpenting ditinjau dari kegawatan paru dan angka ini berkisar antara 43-52 %. Berdasarkan jenis tumornya bisa karena tumor primernya atau metastasis dari tempat lain. Tumor-tumor primer lebih jarang menyebabkan effusi pleura dari pada tumor metastasis. Akan tetapi bila terdapat mesotelioma sebagian besar akan menyebabkan effusi pleura maligna.
Tumor-tumor pleura yang sering menimbulkan cairan pleura antara lain bronchogenig ca, ca mamma, limphoma atau tumor-tumor dari tempat lain seperti colon, rectum, abdomen, cervic, renal, kelenjar adrenal, pankreas, esophagus, thyroid, testis, osteogenic sarcoma dan multiple myeloma.

III.             PATOGENESIS

Patogenesis terbentuknya effusi pleura  dapat dibagi antara lain:
1.      Non Malignancy
Dalam keadaan fisiologi cairan pleura berkisar antara 10-20 cc dan cairan ini bervariasi pada latihan fisik. Sedangkan tekanan hidrostatik intra pleura adalah minus 5 cm H2O. Menurut teori driving pressure adalah sama dengan perbedaan tekanan hidrostatik ( tekanan intra pleura dikurangi tekanan hidrostatik kapiler dikurangi dengan tekanan hidrostatik antara kapiler dan tekanan ini besarnya 6 cmH2O). Jadi dasar pembentukan cairan ini adalah perbedaan tekanan hidrostatik lebih besar dari tekanan osmotik.
Pada pleura visceralis terjadi sebaliknya dimana perbedaan tekanan osmotik lebih besar dari pada tekanan hidrostatik. Pada pleura visceralis terjadi pengisapan cairan dengan kekuatan pengisapan sama dengan perbedaan tekanan osmotik intra kapiler dan intra pleura (reabsorbsion pressure 9 mmHg)
Sebagaimana diketahui tekanan hidrostatik intra kapiler pada pleura parietalis 30 mmHg, tetapi tekanan hidrostatik kapiler pada pleura visceralis  11 mmHg. Sedangkan faktor yang lain dapat dianggap konstan , yakni tekanan hidrostatik intra pleura 5 mm Hg, tekanan osmotik intra pleura 6 mmHg dan tekanan osmotik intra kapiler 32 mmHg. Dengan perkataan lain di pleura parietalis berlaku rumus:
      PD       = (PHC-PHP)-(POC-POP)
                  = (30-(-5)-(32-6)
                  = 9 cmH2O
Pada pleura visceralis :
      PD       = (11-(-5)-(321-6)
                  = - 10 cmH20
Secara teoritis pembentukan cairan dapat dibagi atas :
A.    Eksudat
a.       Permeabilitas kapiler pleura bertambah
b.      Pengaliran cairan limphe rongga pleura terhambat



B.     Transudat, yang terdapat pada :
a.       Bendungan sistemik dari arteri pulmonalis
b.      Hipoproteinemia disertai merendahnya koloid osmotik plasma
c.       Tekanan intra pleura yang sangat negatif
d.      Perembesan transudat intra peritoneal melalui sistem limpha dan menembus diaphragma ke rongga pleura.
2.      Effusi pleura maligna
Pada effusi pleura maligna faktor-faktor fisiologis ini tidak lagi dapat diperhitungkan oleh karena faktor mekanisme pembentukan cairan memberikan gambaran patologis :
a.       Erosi pembuluh darah dan pembuluh limphe
b.      Obstruksi pembuluh darah atau pembuluh limphe
c.       Effusi oleh karena skunder infeksi dari tumor
d.      Implantasi sel tumor pada pleura
Pembentukan cairan yang demikian menyebabkan cairan cepat terkumpul dan bertambah dimana terbentuk secara massive.


IV.             DIAGNOSA


Diagnosa dari effusi pleura ditegakkan atas dasar keluhan dari penderita dan dapat dibedakan atas
1.      Riwayat Penyakit, dimana terdapat :
a.       Keadaan uum yang lemah
b.      Terdapatnya dispneu
c.       Terdapatnya rasa nyeri dada
d.      Suhu tubuh yang tidak tetap
2.      Pemeriksaan Fisik yang ditandai dengan :
a.       Hemithorak yang kurang bergerak
b.      Vocal fremitus berkurang
c.       Perkusi redup
d.      Suara pernafasan menghilang
Secara teoritis dapat pula ditentukan garis Ellis Damoiseu, namun pemeriksaan rontgen laebih dapat memberikan tanda-tanda yang pasti. Pada gambaran radiologis ditemukan gambaran perselubungan, ruang antar iga yang melebar dan desakan pada alat mediastinum. Disamping tanda yang pasti adanya meniskus pada permukaan cairan dan dapat dibuktikan terdapatnya pergeseran cairan pada photo lateral decubitus.
Di samping itu kadang-kadang suatu massa tumor memberikan gambaran Golden S sign, dimana permukaan conveks sedangkan meniscus cairan memberikan gambaran konkaf. Bentuk dimana didapatkan bayangan cairan pleura sering sukar dibedakan dengan atelektasis lebih-lebih terdapat atelektasis dan cairan pleura bersama-sama yang memberikan gambaran radiologis yang tak jarang pada kanker paru  yang tumbuh intra luminer.
3.      Pleura punctie
Dapat memastikan adanya cairan dalam pleura dan jenis cairan eksudat, transudat,hemorhagic atu pus. Walaupun tes biokimia meliputi alkalinephospatase, lacticodehidrogenase, amilase, glucosa, protein dan lemak atau pemeriksaan sedimen dari pleura yaitu eritrosit, leukosit ataupun pemeriksaan bakteriologis, akan tetapi secara makroskopis cairan ini telah dapat dilihat.
Penyebab yang pasti dari effusi pleura hanya ditegakkan atas dasar sel-sel ganas atau kuman-kuman penyakit dari cairan punksi maupun biopsi pleura. 

V.                 TERAPI

1.      Aspirasi cairan pleura
Punksi pleura ditujukan untuk menegakkan diagnosa effusi plura yang dilanjutkan dengan pemeriksaan mikroskopis cairan. Disampng itu punksi dituukan pula untuk melakukan aspirasi atas dasar gangguan fugsi restriktif paru atau terjadinya desakan pada alat-alat mediastinal.
 Jumlah cairan yang boleh diasirasi ditentukan atas pertimbangan keadaan umum penderita, tensi dan nadi. Makin lemah keadaan umm penderita makin sedikit jumlah cairan pleura yang bisa diaspirasi untuk membantu pernafasan penderita.
Komplikasi yang dapat timbul dengan tindakan aspirasi :
a.       Trauma
Karena aspirasi dilakukan dengan blind, kemungkinan dapat mengenai pembuluh darah, saraf atau alat-alat lain disamping merobek pleura parietalis yang dapat menyebabkan pneumothorak.
b.      Mediastinal Displacement
Pindahnya struktur mediastinum dapat disebabkan oleh penekaran cairan pleura tersebut. Tetapi tekanan negatif saat punksi dapat menyebabkan bergesernya kembali struktur mediastinal.  Tekanan negatif yang berlangsung singkat menyebabkan pergeseran struktur mediastinal kepada struktur semula atau struktur yang retroflux dapat menimbulkan perburukan keadaan terutama disebabkan terjadinya gangguan pada hemodinamik.
c.       Gangguan keseimbangan  cairan, Ph, elektroit, anemia dan hipoproteinemia.
Pada aspirasi pleura yang berulang kali dalam waktu yang lama dapat menimbulkan tiga pengaruh pokok :





a.       Menyebabkan berkurangnya berbagai komponen intra vasculer yang dapat menyebabkan anemia, hipprotein, air dan berbagai gangguan elektrolit dalam tubuh
b.      Aspirasi cairan pleura menimbulkan tekanan cavum  pleura  yang negatif sebagai faktor yang menimbulkan pembentukan cairan pleura yang lebih banyak
c.       Aspirasi pleura dapat menimbulkan skunder aspirasi.

2.      Water Seal Drainage
Telah dilakukan oleh berbagai penyelidik akan tetapi bila WSD ini dihentikan maka akan terjadi kembali pembentukan cairan.

3.      Penggunaan Obat-obatan
Penggunaan berbagai obat-obatan pada pleura effusi selain hasilnya yang kontraversi juga mempunyai efek samping. Hal ini disebabkan  pembentukan cairan karena malignancy  adalah karena erosi pembuluh darah. Oleh karena itu penggunaan citostatic misalnya tryetilenthiophosporamide, nitrogen mustard, dan penggunaan zat-zat lainnya seperi atabrine  atau penggunaan talc poudrage tidak memberikan hasil yang banyak oleh karena tidak menyentuh pada faktor patofisiolgi dari terjadinya cairan pleura.

Pada prinsipnya metode untuk menghilangkan cairan pleura dapat pula menimbulkan gangguan fungsi vital . Selain aspirasi thoracosintesis yang berulang kali, dikenal ula berbagai cara lainnya yaitu :
1.      Thoracosintesis
Dapat dengan melakukan apirasi yang berulang-ulang dan dapat pula dengan WSD atau dengan suction dengan tekanan 40 mmHg
2.      Pleurodysis
Dapat dipergunakan darah atau glukosa atau dengan talc poudrage dengan tujuan untuk menghilangkan rongga pleura.
3.      Pleurectomy/ dekortikasi
Dengan tujuan untuk menghilangkan pleura, sering dilakukan pada carcinoma mamma.
4.      Memasukan bahan-bahan radioaktif
a.       Dapat digunakan Au 198 sebanyak 75-150 mc sampai dengan dosis 450 mc
b.      P32 (Cr P32O4) sebanyak 10-20n mc.
c.       Yetrium 90.
Walaupun berbagai penlitian tidak menunjukkan hasil yang baik akan tetapi pada metastase carcinoma mamma menunjukkan hasil yang lebih baik daripada carcinoma paru primer.
5.      Citostatic intra pleura.
Zat-zat yang digunakan biasanya :
a.       Mustargen 0,4 mg per kg berat badan digunakan dosis 20-40 mg dalam 100 cc larutan garam.
b.      Theothepa 20-50 mg intra pleura
c.       Atabrine 250 mg dalam 10 cc aquades
d.      Fluoro uracil dan mitomycine

6.      Radiasi
Radiasi pada tumor justru menimbulkan effusi pleura disebabkan oleh karena kerusakan aliran limphe dari fibrosis. Akan tetapi beberapa publikasi terdapat laporan berkurangnya cairan setelah radiasi pada tumor mediastinum..

Featured Post

LEAFLET KEHAMILAN TIDAK DI INGINKAN (KTD)

yang ingin Edit bisa di download Link di bawah DOWNLOAD