Pengetahuan Keperawatan dan Kebidanan Beserta Leaflet, Brosur, Laporan pendahuluan, Asuhan Keperawatan, Dan Power Point Tentang Kesehatan
Senin, 23 Januari 2017
Kamis, 19 Januari 2017
FARINGITIS
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS FARINGITIS
I.
FARINGITIS
A.
DEFINISI
Adalah peradangan pada mukosa faring.
(Efiaty Arsyad S,Dr,Sp.THT, 2000)
B.
ETIOLOGI/ PATOFISIOLOGI
Etiologi faringitis akut adalah bakteri atau virus yang ditularkan
secara droplet infection atau melalui bahan makanan / minuman / alat makan.
Penyakit ini dapat sebagai permulaan
penyakit lain, misalnya : morbili, Influenza, pnemonia, parotitis ,
varisela, arthritis, atau radang
bersamaan dengan infeksi jalan nafas bagian atas yaitu: rinitis akut, nasofaringitis,
laryngitis akut, bronchitis akut. Kronis
hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding posterior faring. Tampak
mukosa menebal serta hipertropi kelenjar limfe dibawahnya dan dibelakang arkus
faring posterior (lateral band). Adanya mukosa dinding posterior tidak rata
yang disebut granuler.
Sedangkan
faringitis kronis atropi sering timbul bersama dengan rinitis atropi, udara
pernafasan tidak diatur suhu serta kelembabannya, sehingga menimbulkan
rangsangan serta infeksi pada faring.
Dibedakan menjadi :
<Faringitis kronis
Faktor predisposisi:
-
Rinitis kronis
-
Sinusitis
-
Iritasi kronik pada perokok dan peminum alkohol
-
Inhalasi uap pada pekerja dan laboratorium
-
Orang yang sering bernafas dengan mulut karena hidungnya tersumbat.
a.
Faringitis kronis hiperplastik
a.1
Gejala :
-
Pasien mengeluh gatal ditenggorokan
-
Berasa kering
-
Berlendir
-
Kadang - kadang ada batuk
a.2
Terapi :
-
Dicari dan diobati adanya penyalkit kronis dihidung dan sinus paranasal
-
Terapi lokal dengan menggosokkan zat kimia (kaustik) yaitu : larutan
nitres argenti atau albotil maupun dengan listrik (elektrocauter)
-
Secara simptomatik, diberikan obat isap / kumur dan obat batuk
b.
Faringitis kronis atropi (faringitis sika)
b.1
Gejala dan tanda :
-
Pasien mengeluh tenggorokan kering dan tebal
-
Mulut berbau
-
Pada pemeriksaan tampak mukosa faring terdapat lendir yang melekat
-
Jika lendir diangkat mukosa tampak kering
b.2
Terapi:
-
Sama dengan rinitis atropi
-
Pemberian obat kumur
-
Penjagaan hygiene mulut
-
Obat simptomatik
<Faringitis Spesifik
a.
Faringitis Leutika
a.1
Gejala dan tanda :
a.1.1
Stadium primer :
-
Bercak keputihan pada lidah, palatum mole, tonsil dan dinding faring
posterior
-
Timbul ulkus karena infeksi yang lama
-
Pembesaran kelenjar mandibula yang tidak nyeri tekan
a.2.1
Stadium sekunder :
-
Jarang ditemukan
-
Terdapat eritema pada dinding faring yang menjalar kearah laring
a.3.1
Stadium tersier :
-
Terdapat guma pada tonsil dan palatum
- Guma pada dinding faring
pada posterior akan mengenai vertebra servikal
- Gangguan fungsi palatum
secara permanen akibat adanya guma pada palatum mole
a.2
Diagnosis : dengan pemeriksaan serologic
a.3
Terapi : Obat pilihan utama pinissilin dalam dosis tinggi
b.
Faringitis Tuberkolusa
b.1
Cara infeksi :
-
Cara eksogen yaitu kontak dengan sputum yang mengandung kuman atau inhalasi kuman melalui
udara
-
Cara endogen yaitu penyebaran melalui darah pada tuberkolusis miliaris
Penelitian saat ini menemukan penyebaran secara limfogen
b.2 Bentuk dan tempat lesi
-
Berbentuk ulkus pada satu sisi
tonsil dan jaringan tonsil itu akan mengalami nekrosis
-
Pada infeksi secara hematogen tonsil dapat terkena pada kedua sisi
terutama pada dinding faring posterior, arkus faring anterior, dinding lateral
hipofaring, palatum mole dan palatum durum
-
Kelenjar regional leher membengkak
b.3
Gejala:
-
Pasien mengeluh nyeri hebat ditenggorokan
-
Keadaan buruk : anoreksi, nyeri menelan makanan
-
Regurgitasi
-
Nyeri di telinga (otalgia) Adenopati servikal
b.4
Diagnosis :
-
Pemeriksaan sputum untuk mengetahui basil tahan asam
-
Fotothorak untuk melihat adanya tuberkolusis paru
-
Biopsi jaringan untuk mengetahui proses keganasan serta mencari basil
tahan asam di jaringan
b.5
Terapi: sesuai dengan terapi tuberkolusis paru
II.
ASUHANKEPERAWATAN
A.
Pengkajian
1.
Data Dasar
2.
Riwayat Kesehatan.
3.
Pemeriksaan Fisik
Pada
farmgitis kronis , pengkajian head to toe yang dilakukan
lebih difokuskan pada:
a.
Sistem pernafasan :
Batuk,
sesak
B.
Diagnosa Keperawatan
1.
Nyeri berhubungan dengan
inflamasi ditandai
dengan rubor, dolor, kalor, tumor, fungsiolaesa pada mukosa
Tujuan : Nyeri berkurang setelah
dilakukan tindakan keperawatan dan kolaboratif untuk pemberian analgetik
Intervensi
Keperawatan:
a.
Kaji lokasi,intensitas dan karakteristik nyeri
b.
Identifikasi adanya tanda-tanda radang
c.
Monitor aktivitas yang dapat meningkatkan nyeri
d.
Kompres es di sekitar leher
e.
Kolaborasi untuk pemberian analgetik
2. Gangguan nutrisi (kurang dari kebutuhan) berhubungan
dengan intake yang kurang sekunder dengan kesulitan menelan ditandai dengan
penurunan berat badan, pemasukan makanan berkurang, nafsu makan kurang, sulit
untuk menelan, HB kurang dari normal
Tujuan:
gangguan pemenuhan nutrisi teratasi setelah dilakukan asuhan keperawatan yang
efektif
Intervensi
Keperawatan :
a.
Monitor
balance intake dengan output
b.
Timbang
berat badan tiap hari
c.
Berikan makanan cair / lunak
d.
Beri makan sedikit tapi sering
e.
Kolaborasi pemberian roborantia
3.
Bersihan jalan nafas tidak
efektif berhubungan dengan sekret yang
kental ditandai dengan kesulitan dalam bernafas, batuk
terdapat kumpulan sputum, ditemukan suara nafas tambahan
Tujuan: bersihan jalan nafas
efektif ditujukkan dengan tidak ada
sekret yang berlebihan
Intervensi
Keperawatan :
a.
Identifikasi
kualitas atau kedalaman nafas pasien
b.
Monitor
suara nafas tambahan
c.
Anjurkan untuk minum air hangat
d.
Ajari pasien untuk batuk efektif
e.
Kolaborasi untuk pemberian ekspektoran
4. Resiko tinggi defisit volume cairan berhubungan dengan demam,
ketidakcukupan pemasukan oral ditandai dengan turgor kulit kering, mukosa mulut
kering, keluar keringat berlebih
Tujuan:
Resiko tinggi defisit volume cairan dapat dihindari
Intervensi Keperawatan :
a.
Monitor intake dan output cairan
b.
Monitor timbulnya tanda-tanda dehidrasi
c.
Berikan intake cairan yang adekuat
d.
Kolaborasi pemberian cairan secara parenteral (jika diperlukan)
5. Resiko tinggi penularan
penyakit berhubungan dengan kontak, penularan melalui udara
Tujuan: Resiko
tinggi penularan penyakit dapat dihindari
Intervensi keperawatan
Mengajarkan pasien tentang pentingnya peningkatan kesehatan dan
pencegahan infeksi lebih lanjut:
a.
Menganjurkan pasien untuk istirahat
b.
Menghindari kontak langsung dengan orang yang terkena infeksi pernafasan
c.
Menutup mulut bila batuk / bersin
d.
Mencuci tangan
e.
Makan- makan bergisi
f.
Menghindari penyebab iritasi
g.
Oral hygine
6. Perubahan suhu tubuh berhubungan dengan dehidrasi,
inflamasi ditandai dengan suhu tubuh lebih dari normal, pasien gelisah, demam
Tujuan: Suhu tubuh dalam batas normal, adanya kondisi dehidrasi,
inflamasi teratasi
Intervensi keperawatan
a.
Ukur
tanda-tanda vital
b.
Monitor
temperatur tubuh secara teratur
c.
Identifikasi
adanya dehidrasi, peradangan
d.
Kompres es disekitar leher
e.
Kolaborasi pemberian antibiotik, antipiretik
DAFTAR PUSTAKA
Efiaty Arsyad S,Dr,Sp.THT, 2000, Buku Ajar Ulmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorokan, Balai Penerbit FKUI, Jakarta
Sabiston David. C, Jr. M.D, 1994, Buku Ajar Bedah, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta
LAPORAN PENDAHULUAN ASKEP PADA KLIEN DENGAN CA NASOFARING
LAPORAN
PENDAHULUAN
ASKEP PADA KLIEN DENGAN CA NASOFARING
A. Pengertian
Karsinoma nasofaring merupakan
tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan predileksi di fossa
Rossenmuller dan atap nasofaring.
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang
terbanyak ditemukan di Indonesia. (Efiaty & Nurbaiti, 2001)
B.
Etiologi
Insidens karsinoma nasofaring yang tinggi ini dihubungkan dengan
kebiasaan makan, lingkungan dan virus Epstein-Barr (Sjamsuhidajat, 1997).
Selain itu faktor geografis, rasial, jenis kelamin, genetik, pekerjaan,
kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi kuman atau parasit juga sangat mempengaruhi kemungkinan
timbulnya tumor ini. Tetapi sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab
karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-barr, karena pada semua pasien
nasofaring didapatkan titer anti-virus EEB yang cukup tinggi (Efiaty &
Nurbaiti, 2001).
C.
Pathofisiologi / Pathways
Terlampir
D.
Tanda dan Gejala
Gejala
karsinoma nasofaring dapat dikelompokkan menjadi 4 bagian, yaitu antara lain :
1.
Gejala nasofaring
Gejala nasofaring dapat berupa
epistaksis ringan atau sumbatan hidung.
2.
Gangguan pada telinga
Merupakan gejala dini karena
tempat asal tumor dekat muara tuba Eustachius (fosa Rosenmuller). Gangguan yang
timbul akibat sumbatan pada tuba eustachius seperti tinitus, tuli, rasa tidak
nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia)
3.
Gangguan mata dan syaraf
Karena dekat dengan rongga
tengkorak maka terjadi penjalaran melalui foramen laserum yang akan mengenai
saraf otak ke III, IV, VI sehingga dijumpai diplopia, juling, eksoftalmus dan
saraf ke V berupa gangguan motorik dan sensorik.
Karsinoma yang lanjut akan
mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan XII jika penjalaran melalui foramen
jugulare yang sering disebut sindrom Jackson. Jika seluruh saraf otak terkena
disebut sindrom unialteral.
4.
Metastasis ke kelenjar leher
Yaitu dalam bentuk benjolan medial
terhadap muskulus sternokleidomastoid yang akhirnya membentuk massa besar
hingga kulit mengkilat.
E.
Pemeriksaan Penunjang
1.
Pemeriksaan CT-Scan daerah
kepala dan leher untuk mengetahui keberadaan tumor sehingga tumor primer yang
tersembunyi pun akan ditemukan.
2.
Pemeriksaan Serologi IgA anti
EA dan IgA anti VCA untuk mengetahui infeksi virus E-B.
3.
Untuk diagnosis pasti ditegakkan
dengan Biopsi nasofaring dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung dan
mulut. Dilakukan dengan anestesi topikal dengan Xylocain 10 %.
4.
Pengerokan dengan kuret daerah
lateral nasofaring dalam narkosis.
F.
Penatalaksanaan Medis
1.
Radioterapi merupakan
pengobatan utama
2.
Pengobatan tambahan yang
diberikan dapat berupa diseksi leher ( benjolan di leher yang tidak menghilang
pada penyinaran atau timbul kembali setelah penyinaran dan tumor induknya sudah
hilang yang terlebih dulu diperiksa dengan radiologik dan serologik) ,
pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi,
vaksin dan antivirus.
Pemberian ajuvan kemoterapi yaitu Cis-platinum,
bleomycin dan 5-fluorouracil. Sedangkan kemoterapi praradiasi dengan epirubicin
dan cis-platinum. Kombinasi kemo-radioterapi dengan mitomycin C dan
5-fluorouracil oral sebelum diberikan radiasi yang bersifat “RADIOSENSITIZER”.
G.
Pengkajian
1.
Faktor
herediter atau riwayat kanker pada keluarga misal ibu atau nenek dengan riwayat
kanker payudara
2.
Lingkungan
yang berpengaruh seperti iritasi bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu.
3.
Kebiasaan
memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu dan kebiasaan makan makanan yang
terlalu panas serta makanan yang diawetkan ( daging dan ikan).
4.
Golongan
sosial ekonomi yang rendah juga akan menyangkut keadaan lingkungan dan
kebiasaan hidup.
5.
Tanda
dan gejala :
Aktivitas
Kelemahan atau keletihan. Perubahan pada
pola istirahat; adanya faktor-faktor yangmempengaruhi tidur seperti nyeri,
ansietas.
Sirkulasi
Akibat metastase tumor terdapat
palpitasi, nyeri dada, penurunan tekanan darah, epistaksis/perdarahan hidung.
Integritas
ego
Faktor stres, masalah tentang perubahan
penampilan, menyangkal diagnosis, perasaan tidak berdaya, kehilangan kontrol,
depresi, menarik diri, marah.
Eliminasi
Perubahan pola defekasi konstipasi atau
diare, perubahan eliminasi urin, perubahan bising usus, distensi abdomen.
Makanan/cairan
Kebiasaan diit buruk ( rendah serat,
aditif, bahanpengawet), anoreksia, mual/muntah, mulut rasa kering, intoleransi
makanan,perubahan berat badan, kakeksia, perubahan kelembaban/turgor kulit.
Neurosensori
Sakit kepala, tinitus, tuli, diplopia,
juling, eksoftalmus
Nyeri/kenyamanan
Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa
nyeri telinga (otalgia), rasa kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan
akibat penyinaran
Pernapasan
Merokok (tembakau, mariyuana, hidup dengan seseorang yang merokok),
pemajanan
Keamanan
Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen, pemajanan matahari lama /
berlebihan, demam, ruam kulit.
Seksualitas
Masalah seksual misalnya dampak hubungan, perubahan pada tingkat
kepuasan.
Interaksi
sosial
Ketidakadekuatan/kelemahan sistem pendukung
DAFTAR PUSTAKA
1.
Smeltzer
Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth.
Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC;
2001.
2. Doenges, Marilynn E. Rencana Asuhan
Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan pendokumentasian Perawatan Pasien.
Alih bahasa I Made Kariasa. Ed. 3. Jakarta : EGC;1999
3. Efiaty Arsyad Soepardi & Nurbaiti
Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2001
4. R. Sjamsuhidajat &Wim de jong. Buku
Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. Jakarta : EGC ; 1997
5.
Purnaman S. Pandi.
LAPORAN PENDAHULUAN ANGIOFIBROMA
ANGIOFIBROMA
A. PENGERTIAN
Angiofibroma nasofaring belia adalah
sebuah tumor jinak nasofaring yang cenderung menimbulkan perdarahan yang sulit
dihentikan dan terjadi pada laki-laki prepubertas dan remaja.
Angiofibroma nasofaring belia
merupakan neoplasma vaskuler yang terjadi hanya ada laki-laki, biasanya selama
masa prepubertas dan remaja
Umumnya terdapat pada rentang usia 7 s/d 21 tahun dengan
insidens terbanyak antara usia 14-18 tahun dan jarang pada usia diatas 25
tahun.
Tumor ini merupakan tumor jinak nasofaring terbanyak dan
0,05% dari seluruh tumor kepala dan leher
B. ETIOLOGI
Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai jenis
teori banyak diajukan. Diantaranya teori jaringan asal dan faktor
ketidak-seimbangan hormonal.
Secara histopatologi tumor ini termasuk jinak tetapi
secara klinis ganas karena bersifat ekspansif dan mempunyai kemampuan
mendestruksi tulang. Tumor yang kaya pembuluh darah ini memperoleh aliran darah
dari arteri faringealis asenden atau arteri maksilaris interna. Angiofibroma kaya
dengan jaringan fibrosa yang timbul dari atap nasofaring atau bagian dalam dari
fossa pterigoid. Setelah mengisi nasofaring, tumor ini meluas ke dalam sinus
paranasal, rahang atas, pipi dan orbita serta dapat meluas ke intra kranial
setelah mengerosi dasar tengkorak .
C. TANDA DAN GEJALA
Gejala klinik terdiri dari hidung tersumbat (80-90%);
merupakan gejala yang paling sering, diikuti epistaksis (45-60%); kebanyakan
unilateral dan rekuren, nyeri kepala (25%); khususnya bila sudah meluas ke
sinus paranasal, pembengkakan wajah (10-18%) dan gejala lain seperti anosmia,
rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum serta deformitas pipi. Tumor ini
sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus sangat hati-hati karena sentuhan
jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan perdarahan yang ekstensif.
D. PENEGAKAN DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan penunjang seperti x-foto polos, CT scan, angiografi atau MRI. Dijumpai
tanda Holman-Miller pada pemeriksaan x-foto polos berupa lengkungan ke depan
dari dinding posterior sinus maksila4. Biopsi tidak dianjurkan mengingat resiko
perdarahan yang masif dan karena teknik pemeriksaan radiologi yang modern
sekarang ini dapat menegakkan diagnosis dengan tingkat ketepatan yang tinggi.
Tumor ini dapat didiagnosis banding dengan polip koana,
adenoid hipertrofi, dan lain-lain.
E. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan tumor ini adalah dengan pembedahan;
dimana 6-24% rekuren, stereotactic radioterapi; digunakan jika ada perluasan ke
intrakranial atau pada kasus-kasus yang rekuren.
Penatalaksanaan tumor ini adalah dengan pembedahan yang
sering didahului oleh embolisasi intra-arterial 24-48 jam preoperatif yang
berguna untuk mengurangi perdarahan selama operasi2,4,5. Material yang
digunakan untuk embolisasi ini terdiri dari mikropartikel reabsorpsi seperti
Gelfoam, Polyvinyl alcohol atau mikropartikel nonabsorpsi seperti Ivalon dan
Terbal. Penggunaan embolisasi ini tergantung pada ahli bedah masing-masing.
F. KOMPLIKASI
Komplikasi yang timbul dapat berupa perdarahan yang
berlebihan dan transformasi maligna.
G. STADIUM ANGIOFIBROMA
Untuk menentukan perluasan tumor, dibuat sistem staging.
Ada 2 sistem
yang paling sering digunakan yaitu Sessions dan Fisch.
Klasifikasi menurut Sessions sebagai erikut :
1.
Stage IA : Tumor terbatas pada nares posterior
dan/atau nasofaring
2.
Stage IB : Tumor melibatkan nares posterior
dan/atau nasofaring dengan perluasan ke satu sinus paranasal.
3.
Stage IIA : Perluasan lateral minimal ke dalam
fossa pterygomaksila.
4.
Stage IIB : Mengisi seluruh fossa pterygomaksila
dengan atau tanpa erosi ke tulang orbita.
5.
Stage IIIA : Mengerosi dasar tengkorak; perluasan
intrakranial yang minimal.
6.
Stage IIIB : Perluasan ke intrakranial dengan atau
tanpa perluasan ke dalam sinus kavernosus.
Klasifikasi menurut Fisch :
- Stage I : Tumor terbatas pada kavum nasi, nasofaring tanpa
destruksi tulang.
- Stage II :Tumor menginvasi fossa pterygomaksila, sinus
paranasal dengan destruksi tulang.
- Stage III :Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dan/atau
daerah parasellar sampai sinus kavernosus.
- Stage IV : Tumor menginvasi sinus kavernosus, chiasma optikum
dan/atau fossa pituitary.
H. PENGKAJIAN
a.
Faktor herediter
atau riwayat kanker pada keluarga misal ibu atau nenek dengan riwayat kanker
payudara
b.
Lingkungan yang
berpengaruh seperti iritasi bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu.
c.
Kebiasaan
memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu dan kebiasaan makan makanan yang
terlalu panas serta makanan yang diawetkan ( daging dan ikan).
d. Golongan sosial ekonomi yang rendah juga akan
menyangkut keadaan lingkungan dan kebiasaan hidup. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 146)
e.
Tanda dan gejala
:
v Aktivitas
Kelemahan atau keletihan. Perubahan pada pola
istirahat; adanya faktor-faktor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas.
v Sirkulasi
Akibat
metastase tumor terdapat palpitasi, nyeri dada, penurunan tekanan darah,
epistaksis/perdarahan hidung.
v Integritas ego
Faktor
stres, masalah tentang perubahan penampilan, menyangkal diagnosis, perasaan
tidak berdaya, kehilangan kontrol, depresi, menarik diri, marah.
v Eliminasi
Perubahan
pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan eliminasi urin, perubahan bising
usus, distensi abdomen.
v Makanan/cairan
Kebiasaan
diit buruk ( rendah serat, aditif, bahanpengawet), anoreksia, mual/muntah,
mulut rasa kering, intoleransi makanan,perubahan berat badan, kakeksia,
perubahan kelembaban/turgor kulit.
v Neurosensori
Sakit
kepala, tinitus, tuli, diplopia, juling, eksoftalmus
v Nyeri/kenyamanan
Rasa
tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri telinga (otalgia), rasa kaku di
daerah leher karena fibrosis jaringan
v Pernapasan
Merokok (tembakau, mariyuana, hidup dengan seseorang
yang merokok)
v Keamanan
Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen, pemajanan
matahari lama / berlebihan, demam, ruam kulit.
v Interaksi sosial
Ketidakadekuatan/kelemahan sistem pendukung
(Doenges, 2000)
H. Diagnosa
Keperawatan dan Intervensi
Nyeri berhubungan dengan kompresi/destruksi karingan
saraf
Tujuan : rasa nyeri
teratasi atau terkontrol
Kriteria hasil : mendemonstrasikan penggunaan ketrampilan relaksasi nyeri .
Intervensi :
S Tentukan riwayat nyeri misalnya lokasi, frekuensi, durasi
S Berikan tindakan kenyamanan dasar (reposisi, gosok punggung) dan
aktivitas hiburan.
S Dorong penggunaan ketrampilan manajemen nyeri (teknik relaksasi,
visualisasi, bimbingan imajinasi) musik, sentuhan terapeutik.
S Evaluasi penghilangan nyeri atau kontrol
S Kolaborasi : berikan analgesik sesuai indikasi misalnya Morfin,
metadon atau campuran narkotik.
2. Gangguan sensori persepsi
berubungan dengan gangguan status organ sekunder
Tujuan : mampu
beradaptasi terhadap perubahan sensori pesepsi
Kriteria hasil : mengenal
gangguan dan berkompensasi terhadap perubahan
Intervensi
:
S Tentukan ketajaman penglihatan, apakah satu atau dua mata terlibat.
S Orientasikan pasien terhadap lingkungan
S Observasi tanda-tanda dan gejala disorientasi
S Perhatikan tentang suram atau penglihatan kabur
S Bicara dengan gerak mulut yang jelas
S Bicara pada sisi telinga yang sehat
3. Nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan anoreksia,
mual muntah sekunder
Tujuan :
kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.
Kriteria hasil :
§ Melaporkan penurunan mual dan insidens muntah
§ Mengkonsumsi makanan dan cairan yang adekuat
§ Menunjukkan turgor kulit normal dan membran mukosa yang lembab
§ Melaporkan tidak adanya penurunan berat badan tambahan
Intervensi
:
S Sesuaikan diet sebelum dan sesudah pemberian obat sesuai dengan
kesukaan dan toleransi pasien
S Berikan dorongan higiene oral yang sering
S Berikan antiemetik, sedatif dan kortikosteroid yang diresepkan
S Pastikan hidrasi cairan yang adekuat sebelum, selama dan setelah
pemberian obat, kaji masukan dan haluaran.
S Pantau masukan makanan tiap hari.
S Ukur TB, BB dan ketebalan kulit trisep (pengukuran antropometri)
S Dorong pasien untuk makan diet tinggi kalori, kaya nutrien dengan
masukan cairan adekuat.
S Kontrol faktor lingkungan (bau dan panadangan yang tidak sedap dan
kebisingan)
4. Resiko infeksi berhubungan
dengan ketidakadekuatan pertahanan sekunder imunosupresi
Tujuan : tidak terjadi
infeksi
Kriteria hasil :
§ Menunjukkan suhu normal dan tanda-tanda vital normal
§ Tidak menunjukkan tanda-tanda inflamasi : edema setempat, eritema,
nyeri.
§ Menunjukkan bunyi nafas normal, melakukan nafas dalam untuk menegah
disfungsi dan infeksi respiratori
Intervensi :
S Kaji pasienterhadap bukti adanya infeksi :
S Periksa tanda vital, pantau jumlah
SDP, tempat masuknya patogen, demam, menggigil, perubahan respiratori atau
status mental, frekuensi berkemih atau rasa perih saat berkemih
S Tingkatkan prosedur cuci tangan yang baik pada staf dan pengunjung,
batasi pengunjung yang mengalami infeksi.
S Tekankan higiene personal
S Pantau suhu
S Kaji semua sistem (pernafasan, kulit, genitourinaria)
9. Resiko
terhadap perdarahan berhubungan dengan gangguan sistem hematopoetik
Tujuan : perdarahan dapat
teratasi
Kriteria hasil :
§ Tanda dan gejala perdarahan teridentifikasi
§ Tidak menunjukkan adanya epistaksis
Intervensi
:
S Kaji terhadap potensial perdarahan : pantau jumlah trombosit
S Kaji terhadap perdarahan : epsitaksis
S Instruksikan cara-cara meminimalkan perdarahan : minimalkan
penekanan/ gesekan pada hidung
Kepustakaan
1.
Averdi R, Umar SD. Angiofibroma
Nasofaring Belia. Dalam : Efiaty AS, Nurbaiti I.
2.
Buku ajar ilmu kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke 5, Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 2001. 151-2.
3.
Tewfik TL. Juvenile
Nasopharyngeal Angiofibroma. Available from URL :
http://www.emedicine.com/ent/topic470.htm
4.
Adams GL, et al. Boies – Buku
Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta
: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1997.
5.
Sadeghi N. Sinonasal Papillomas, Treatment.
Available from URL : http://www.emedicine.com/ent/topic529.htm
6.
Doenges, Marilynn E. Rencana
Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan pendokumentasian Perawatan
Pasien. Alih bahasa I Made Kariasa. Ed. 3. Jakarta : EGC;1999
7.
Efiaty Arsyad Soepardi
& Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher. Jakarta
: Balai Penerbit FKUI; 2001
8. R. Sjamsuhidajat &Wim de jong.
Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. Jakarta : EGC ; 1997
4.
Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001
Langganan:
Postingan (Atom)
Featured Post
-
SATUAN ACARA PEMBELAJARAN A. Pokok Bahasan : Mengajarkan Tehnik Relaksasi Sub Pokok Bahasan : Terapi Relak...
-
MERAPIHKAN TEMPAT TIDUR Merapikan atau membereskan tempat tidur merupakan salah satu tugas dari seorang perawat dalam memenuh...